Sabtu, 01 Juni 2013

So’al Mbalelo Kader Golkar

Kekisruhan menjelang pemilu 2014 akhir-akhir ini sudah semakin terasa. Hampir setiap hari media memberitakan tentang segala urusan terkait dengan pemilu. Salah satu yang sedang ramai dibicarakan ialah so’al mbalelonya kader partai golkar.
Hal ini ternyata banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk juga saya. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya yang menjadi alasan utama kader-kader golkar sehingga meninggalkan partai yang sudah lama menaunginya tersebut.

Bermula dari keluarnya Rahmatulloh selaku ketua PK golkar kecamatan purwakarta, yang juga menjabat sebagai anggota DPRD. Hengkangnya Rahmat ini menimbulkan banyak spekulasi, baik itu dari kalangan pemerhati politik atau pun dari kalangan akademisi. Spekulasi terbesar ialah bahwasanya ada kekeroposan di tubuh golkar, khususnya diwilayah Cilegon, sehingga kader yang potensi konstituennya cukup besar seperti Rahmatulloh memilih keluar dan masuk dalam partai yang lain. Hal ini juga dikuatkan dengan keluarnya dua kader lainnya seperti Musthofa dan Sukmayada. Ini semakin memperkuat, bahwa dalam tubuh golkar ada semacam sembilu yang menyakiti para kadernya.

Dalam harian Banten Post edisi 13/05, wakil sekertaris DPD II partai Golkar M Nasir seolah menertawakan alasan Musthofa keluar dari partai, yakni karena tidak diberikan proyek. Namun, jika kita mau menelaah statement Nasir kepada Musthofa tersebut dalam kajian semiotika bahasa, ini merupakan suatu symbol. Artinya, Nasir mencoba menutup-nutupi apa yang sebetulnya terjadi dalam tubuh partai. Boleh jadi alasan Musthofa itu adalah gambaran umum kinerja partai yang sesunguhnya. Bahwasanya orang bergabung dengan partai politik, mindsetnya bukan lagi ingin berpartisipasi untuk perubahan bangsa agar lebih baik, tapi saling kejar mengejar proyek untuk kepentingannya pribadi. Baik itu proyek jasa, atau proyek untuk mendapatkan jabatan tertentu.

Kalau kita mau menengok sejarah, sebutlah pada era Soekarno dan kawan-kawan. Militansi kader terhadap partainya sangatlah tinggi. Mereka sangat menjunjung tinggi kesatuan dan kesolidan pergerakan partai. Sebab mereka satu jiwa dan satu misi yaitu untuk membuat Indonesia jauh lebih baik. Tidak terselip kepentingan untuk medapatkan tender atau untuk diangkat menjadi pemegang jabatan tertentu.  Kalau pun ada konflik, persis konflik itu hanyalah masalah perbedaan cara atau sudut pandang dalam memulai suatu pergerakan.

Namun, jika mindsetnya sudah seperti kader-kader golkar diatas, maka ketika kepentingan pribadinya sudah tidak lagi mampu di penuhi oleh partai, atau partai lebih memihak kepada kader yang lain, maka pilihan untuk ‘cabut’ dari partai bukanlah persoalan yang berat.

Jelaslah sudah, bahwa sembilu yang menyakiti kader golkar itu adalah tidak terpenuhinya sebuah kepentingan. Musthofa yang backgroundnya sebagai pengusaha tentu kepentingannya adalah proyek. Sebagaimana kebanyakan kader golkar lainnya juga memiliki background yang sama dengan Musthofa.
M Nasir bisa berkata demikian –seolah dirinya benar- karena mungkin saja kepentingan pribadinya dalam tubuh golkar masih terpenuhi. Saya tidak yakin jika apa yang menjadi kepentingan Nasir tidak lagi terpenuhi dia tidak akan mengambil tindakan seperti Musthofa atau yang lainnya.

Inilah realita perpolitikan di Indonesia. Partai politik yang seharusnya menjadi tempat peracikan formula untuk kebaikan Negara, kini telah berubah serupa badan usaha atau badan penyalur kepentingan.
Tidak ada kawan atau musuh sejati dalam politik, begitu kiranya ajaran Nicolo Macheavelli yang sesungguhnya telah melukai cita-cita politik Aristoteles, sang pelopor istilah politik. Tidak ada yang salah dalam politik, namun orang-orang yang menyalah-artikanlah yang salah. Tidak ada yang salah dengan partai Golkar, tapi oknum-oknum yang menyalahgunakanlah yang salah.

Penulis adalah pengurus balai belajar Rumah Baca Damar26 Cilegon, Purwakarta.

Bendahara Umum FLP Cilegon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar