Jumat, 07 Juni 2013

Rumah Baca Damar26 Memilih ‘Mandiri’

Rumah Baca Damar26  ketika masih di rumah pribadi Ayatulloh  Marsai
Sekitar satu tahun yang lalu, saya, Ayatulloh Marsai (pak Ayat), beserta kawan-kawan yang lain menggagas sebuah rumah baca yang kami beri nama ‘Rumah Baca Damar26’. Sebetulnya keinginan itu sudah lama mengendap dalam kepala pak Ayat, bahkan lama sekali semenjak ia lulus kuliah dari IAIN Sunan Gunung Jati –sekarang UIN—Bandung sekitar 13 tahun silam. Karena beliau belum juga menemukan kawan-kawan yang satu misi, maka keinginan itu pun sempat terkubur.

Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 2012, secara primordial kami nyatakan bahwa rumah Baca kami telah berdiri. Awalnya kami menggunakan rumah pribadi pak Ayat sebagai skretariatan, berikut juga dengan koleksi buku-buku milik beliau. Rumah pak ayat terhitung kurang strategis untuk sebuah tempat membaca, sehingga tidak banyak orang-orang yang datang untuk membaca atau meminjam buku. Atas dasar itulah, kami memutuskan untuk mencari tempat yang baru. Alhamdulillah, tidak membutuhkan waktu yang lama pak Ayat sudah menemukan tempat yang strategis, tepatnya di lingkungan Pasar Bunder kecamatan purwakarta. Dengan harga sewa yang juga sangat strategis. Pak ayat pun langsung menyewa tempat tersebut selama 5 tahun dengan harga 12.000.000,-. Dan biaya itu murni dari kantong pribadi pak Ayat. Yah, itu uang pribadi beliau.

Mengapa Rumah Baca?

Kebetulan, saya dan kawan-kawan yang ikut serta mendirikan Rumah Baca ini adalah murid-murid pak Ayat. Beliau berhasil menanamkan cinta baca kepada kami ketika kami duduk di bangku SLTA. Kecintaan itu terus berlanjut hingga kami duduk di bangku kuliah. Sehingga, kami bisa merasakan kehawatiran yang sama dengan apa yang di hawatirkan pak Ayat. Yakni, rendahnya minat baca masyarakat juga rendahnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan sumber daya manusia.
Damar26 ditempat yang baru. link. pasar bunder
Kami yakin, bahwa sebuah perdaban yang maju selalu dimulai dengan peningkatan sumber daya manusia. Dengan cara terus mensosialisasikan pentingnya dunia literasi. Membaca, menulis, berdiskusi adalah sebuah kepastian yang harus dilakukan jika kita menginginkan negeri kita ini tidak menjadi negeri terbelakang terus menerus.
Memang, bukannya tidak ada rumah baca atau taman baca disekitar lingkungan kami. Hanya saja, kami menilai taman baca tersebut tidak memberikan perhatian lebih kepada masyarakat. Motifasi terbentuknya juga kami kira tidak lebih hanya sekedar penebus dosa atas program-program pemerintah. Sedangkan swadaya untuk masyarakat sangatlah kurang. Biasanya mereka hanya mengadakan kegiatan ketika ada blok green (dana segar) dari pemerintah. Miris.

Konvensional atau mandiri?

Setelah beberapa bulan berjalan. Kami mulai merasa kebingungan tentang bagaimana arah rumah baca kami selanjutnya. Saya pribadi pernah didatangi oleh salah satu pegawai pemerintahan daerah. Dia mengingatkan saya agar tidak usahlah membuat rumah baca baru. Kemudian dia meminta saya untuk mengurusi Taman Baca Masyarakatnya (TBM) yang berada pada naungan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). TBM model begini adalah TBM konvensional. Artinya, semua yang dijalankannya harus sesuai dengan aturan pemerintah, mendapat subsidi dari pemerintah, dan semua-mua terkait dengan pemerintah tak ketinggalan pula wajib dan kudu pro pemerintahan.
foto bersama: relawan rumah baca Damar26
Rumah baca kami pun sempat dibuat bingung. Apakah rumah baca ini akan dibuat atau dijalankan apa adanya (Mandiri). Apakah kemudian kami harus meresmikan rumah baca ini dengan mendaftarkanya ke pihak dinas yang akan melalui birokrasi-birokrasi yang menjejngkelkan. Dan memenuhi aturan-aturan yang kadang sangat merepotkan.
Petunjuk terang kemudian datang dari buku Gempa Literas karya Gol A Gong dan Agus M Irkham. Dalam salah satu tulisannya mengenai TBM, Gol A Gong menawarkan dua madzhab mengenai TBM. Yaitu madzhab konvensional dan madzhab mandiri. Mas Gong menjelaskan, bahwa TBM bermadzhab konvensional harus menempuh aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Kelebihannya, selain terlegalkan, juga akan mendapat bantuan berupa dana-dana dari pemerintah. Namun, kita tidak akan bebas mengkritisi jika terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan, idelanya TBM ialah menjadi basis pergerakan sosial, apa pun itu bentuknya.
Lain halnya dengan TBM bermadzhab mandiri. Meski dengan buku seadanya, fasilitas seadanya, tidak ada subsidi apa pun darri pemerintah, namun justru itu yang akan membuat kita terbebas dari belenggu-belenggu yang membuat kita tidak bebas melakukan revolusi sosial.
Saya selalu ingat apa yang dikatakan pak Ayat selaku presiden rumah baca kami, bahwasnya rumah baca kita ini adalah dapur  yang akan mengolah para pemuda khususnya, agar menjadi pemuda yang mampu membuat perubahan, agar mampu membangkitkan bangsa kita yang semakin hari semakin terseok-seok.
Maka, kami sepakat bahwa rumah baca kami, Rumah Baca Damar26, akan memilih madzhab mandiri.


Penulis adalah relawan rumah baca Damar26

Sabtu, 01 Juni 2013

Damar26, Membangun Dunia Literasi

Matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, warna jingga merengkuh mega-mega.
Ditemani kopi, buku, dan koran-koran yang berserakan, sekelompok orang yang mengaku tergabung dalam Komunitas Gemar Membaca Damar26 ini, terlihat sedang asik berdiskusi. Beberapa orang terlihat sedang mengkliping koran-koran harian. Meskipun hari sudah semakin sore, namun wajah-wajah mereka terlihat masih cerah dan bersemangat.
Berawal dari rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, Ayatulloh Marsai dan kawan-kawan, bertekad untuk membuat sebuah komunitas yang mempunyai giroh untuk membudayakan dunia literasi.
“Mulanya hoby, dan rasa cinta terhadap membaca, kemudian merasa mubadzir dengan buku-buku yang hanya numpuk di kardus-kardus dan lemari, maka saya berinisiatif untuk membentuk rumah baca atau sejenisnya, paling tidak supaya buku-buku dirumah saya ada yang memanfaatkan,” ucap Ayatulloh Marsai, selaku penggagas lahirnya komunitas ini.
Meskipun namanya komunitas membaca, namun pada prakteknya Damar26 tidak hanya sekedar baca-baca saja. Lebih dari itu, Damar26 mempunyai agenda-agenda yang berkaitan dengan dunia literasi, seperi menulis dan berdiskusi. Setiap sabtu sore, mereka ngumpul untuk saling berbagi informasi, membahas isu-isu hangat di media masa, dan kemudian berlomba menuliskan opini untuk dimuat di media cetak.
Komunitas yang bertempat di linkungan Dukumalang, kecamatan purwakarta ini, sangat terbuka kepada siapapun yang ingin bergabung dan menjadi anggota, “Damar 26  tidak menutup diri, siapa pun boleh bergabung dan belajar bersama-sama, baik itu pelajar, mahasiswa, karyawan, atau yang lainya,” lanjut Ayatulloh.
 “Alasan saya mengikuti komunitas ini ialah, paling tidak saya bisa menjaga semangat belajar saya, apalagi saya sekarang sudah tidak lagi belajar dilembaga formal, inisiatifnya, yah saya ngumpul bareng orang-orang yang maniak belajar ini,” ujar Maman, salah satu pendiri komunitas ini.

Kedepan, Damar26 berharap agar lebih banyak lagi orang yang mau bergabung dan belajar bersama.


 

Dosen Rangkap Jabatan

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kembali menjadi ketua umum partai demokrat, kredibilitasnya untuk mengurusi Negara semakin diragukan. Mampukah SBY focus mengurusi Negara dan partainya, ataukah tidak. Disisi yang lain, masyarakat sudah semakin yakin bahwa selama ini SBY lebih mementingkan partainya ketimbang mengurusi Negara yang semakin carut marut.
Kini SBY telah beristri dua –atau bahkan lebih-. Layaknya seseorang yang berpoligami, ia dituntut untuk mampu berlaku adil kepada kedua istrinya, Indonesia dan Demokrat. Namun, seperti yang dikatakan Habiburrahman dalam novel fenomenalnya Ayat-ayat Cinta, satu istri saja belum tentu adil, apa lagi dua.
Sialnya, fenomena poligami jabatan ini juga dilakukan oleh para dosen, khususnya dosen dikampus saya. Entah itu jabatan di internal kampus sendiri atau pun jabatan yang lainnya diluar sana. Saya selaku mahasiswanya yang entah dijadikan isrti keberapa, tidak peduli dengan banyaknya istri yang dimiliki dosen saya tersebut. Yang terpenting adalah, hak saya sebagai mahasiswanya tidak boleh direduksi sedikitpun.
Antara Hak dan Kewajiban
Islam memang membolehkan poligami, akan tetapi dengan syarat yang tidak mudah. Syarat yang paling berat menurut saya ialah mampu berlaku adil. Adil, bisa kita artikan sebagai pekerjaan yang mampu memposisikan antara hak dan kewajiban.
Saya pribadi selaku mahasiswa tidak  menentang bagi dosen yang mempunyai jabatan atau pekerjaan lain, mungkin saja memang subsidi dari pemerintah untuk para tenaga pengajar termasuk dosen tidaklah cukup. Namun kiranya, dosen pun harus sadar akan kewajibannya sebagai tenaga pengajar yang kehadirannya dikelas sangat menentukan untuk perkembangan wawasan mahasiswa.
Saya pribadi sering menjadi korban dosen beristri dua seperti diatas, ketika sedang asik-asiknya berdiskusi tiba-tiba saja ponsel si dosen berbunyi, kemudian setelah itu dia seenaknya pergi dengan alasan sudah ditunggu rapat. Itu sering. Yang paling parah, ada juga dosen yang jarang sekali masuk, ketika dia mau masuk malah merubah jam seenaknya. Saya dan teman-teman yang lain yang tidak mungkin bisa masuk pada jam yang ia tentukan—karena juga punya istri lain—nilainya tidak dikeluarkan. Ini tidak adil.

Dalam hal ini, dosen seharusnya mampu bersikap tegas dan adil. Jika memang pekerjaannya sebagai dosen tidak mampu dijalaninya dengan baik, tersebab kerjaan yang lainnya, ia harus rela melepas jabatannya sebagai dosen. Jangan sampai mengorbankan mahasiswanya. Kita selaku mahasiswa, berhak mendapatakan pengajaran yang baik dari para dosen.

Dalam Dekapan Ukhwah: ‘Membangun Cinta Dengan Iman’

Saya teringat bagaimana pertama kali saya mengenal Ustadz Salim A. Fillah. Ketika itu ada acara bedah buku di kampus. Konon buku yang dibedah adalah buku Salim A. Fillah. Kawan-kawan satu organisasi sepertinya sangat mengenal nama itu, sedangkan saya yang mengaku pecinta buku malah merasa sangat asing dengan nama tersebut.
Saya pun hadir dalam acara bedah buku itu. Suasana begitu ramai, aula kampus yang terhitung sangat luas hampir penuh terisi orang. Didepan, sang penulis sendiri sudah hadir, berikut dengan pembedahnya, Langlang Randawa. Keduanya masih muda.
Acara pun dimulai. Sebagai pembuka, ustadz Salim mengajukan sebuah pertanyaan kepada audien. Namun, tak satu pun dari audien yang berani menjawab, entah apa alasannya. Iseng saja, saya acungkan tangan dan memberanikan diri menjawabnya. Saya tahu jawaban saya itu ngawur, dan jauh dari kata benar. Akan tetapi, ternya saya dipanggil oleh ustadz Salim untuk maju ke depan. Kemudian ia memberikan bukunya yang terbaru ‘Dalam DekapanUkhwah’ beserta tanda tangannya. Saya tidak mengira, bahwa buku itu akan menjadi buku yang menempati daftar nomor satu dalam buku yang saya suka.
Seperti Makan Gado-gado
Meminjam istilahnya Hernowo bahwasanya ada buku yang bergiji dan ada pula buku yang tidak bergiji. Bagi saya, buku yang bergiji itu ialah manakala kita merasa sangat kenyang—dalam arti kita merasa enak dan banyak pengetahuan baru—setelah kita membacanya. Begitulah yang saya rasakan ketika membca buku ustadz Salim. Baru membaca dua sampai  tiga halaman saja, saya merasa sangat ketagihan, dan ingin terus membacanya sampai akhir, sehingga hampir tiga kali saya menamatkan bukunya.
Gaya betuturnya yang halus dan unik saya kira membuat siapa pun akan dibuat jatuh cinta dalam gaya tulisannya. Saya katakan unik, karena dia mempunyai gaya khusus untuk menyampaikan ide atau gagasannya. Sebagai seorang ustadz, dia mempunyai trik untuk menyampaikan ajaran-ajaran islam agar bisa diterima oleh setiap orang. Biasanya dia berbicara sejarah, filsafat, hukum kemudian secara tepat dikaitkan dengan ajaran-ajaran islam yang bersumber dari Al-qur’an dan sunah. Inlah yang membuat saya kagum dengan beliau, dia tidak pernah menutup diri untuk membaca buku atau belajar mengenai apa pun. Pada akhirnya, semakin banyak kita belajar maka kita akan semakin bijaksana menyikapi sebuah permasalahan. Begitu kira-kira pandangannya.
Membangun Cinta Dengan Iman
Dalam bukunya yang berjudul “Dalam Dekapan Ukhwah”  ustadz Salim mencoba menguraikan tentang pentingnya iman dalam menjalin suatu hubungan dengan siapapun. Karena dengan imanlah seseorang mampu mengambil cinta dan kasih dari tuhan untuk ditebarkan kepada manusia yang lain. Dengan begitu, kita tidak akan merasa terluka walau bagaimanapun sikap sahabat kita terhadap kita. Karena cinta dan kasih tuhan sangatlah tulus dan tidak terbatas.
“Muslim yang satu adalah cermin bagi muslim yang lainnya” begitu kiranya ucap nabi besar kita. Seakan mengisyaratkan, bahwa setiap muslim di dunia ini harus saling mengikatkan diri dalam tali persaudaraan. Saat kita bercermin, ketika kita melihat keburukan pada diri kita, maka kita tahu yang harus kita benahi bukanlah bayang-bayang dalam cermin, atau bahkan kita menghancurkan cerminnya. Namun yang harus kita benahi tentulah diri kita sendiri. Kebanyakan dari kita, ketika kita merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, maka kita habis-habisan mengkritisi orang tersebut dengan segala keburukannya. Padahal siapa yang tahu bahwa keburukan itu sebetulnya ada pada diri kita. Ustadz Salim mencoba mengingatkan kita untuk terus mengintropeksi diri, terus dan terus.
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh imam Abu Dawud, Rosululloh SAW. Pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang bukan nabi, dan bukan pula syuhada. Tapi bahkan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka dihari kiamat nanti, tersebab kedudukan yang diberikan oleh Allah pada mereka. Mereka itu adalah segolongan manusia yang saling mencintai karena rahmat Allah. Bukan karena sebab kekerabatan dan darah. Bukan pula di dasarkan pemberian harta. Demi Allah, wajah mereka pada hari itu bersinar cemerlang dan mereka berada diatas cahaya. Mereka tidak merasa khawatir ketika manusia lain ketakutan, dan mereka tidak bersedih ketika manusia lain berduka.”
Membaca buku ini kita dapat belajar banyak dari orang-orang yang diakrabkan hatinya oleh Allah atas dasar keimanan yang mereka miliki. Sebutlah persahabtan antara Zaid bin Tsabit dengan Ibnu Abbas. Meski sangat berbeda pandangan tentang masalah waris, namun ketika bertemu, keduanya begitu mesra, saling memuji dan lain sebagainya.
Atau persahabatn antara Ali bin Abu Thalib dengan Talhah. Meski sejarah menggambarkan betapa mereka sangat bertentangan saat perang Jamal. Namun Ustadz Salim menepis itu semua, dia mengatakan bahwa sebetulnya Talhah telah mengunjungi Ali. Dengan rasa kasih dan sayang antara keduanya, mereka menyepakati untuk menghentikan perang. Namun ketika Talhah keluar dari rumah Ali, ia dibunuh oleh seseorang yang tidak senang dengan perdamaian mereka.
Oleh karenanya, ketika hubungan kita dengan seseorang sedang buruk. Atau ketika semua orang seakan menjauh dari kita, periksalah diri kita sendiri. Siapa tahu iman kita sedang compang-camping, sehingga segala perbuatan yang kita lakukan terkesan tidak membuat nyaman orang lain.
Islam adalah agama yang sangat mengedepankan cinta kasih antar sesama. “tidak dikatakan beriman seseorang, manakala dia belum bisa mencintai saudaranya (muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri” Begitulah kiranya ajaran rosul kita.
Memabaca tulisan-tulisan Salim A Filah, kita tidak hanya mendapat petuah-petuah mutiara yang menenangkan. Melainkan juga kita akan mendapat penyegaran-penyegaran terhadap sejarah, filsafat, dan juga pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Selain itu, nilai-nilai sastra dalam setiap tulisannya terasa begitu kental. Beliau selalu menyelipkan puisi-puisi dalam stiap karyanya.
“Dalam dekapan ukhwah, kita mengambil cinta dari langit lalu menebarkannya di bumi. Sungguh disurga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangun dari sini, dalam dekapan ukhwah.” Salim A Fillah.


Penulis adalah penikmat segala jenis buku.

Menjaring Pemimpin Berkarakter Qur’ani

Sering sekali bangsa kita disebut-sebut sebagai bangsa yang multi-krisis, karena berbagai ketimpangan yang terjadi didalamnya, baik itu dari segi budaya, sosial terlebih lagi ekonomi. Sehingga harus segera dicari obatnya. jika tidak, harapan untuk keluar dari multikrisis hanya akan menjadi angan-angan belaka. Hemat penulis, salah satu penyebab multi krisis di Indonesia dikarenakan dampak krisis kepemimpinan (crisis leadership) itu sendiri, yang menjadi titik hitam sejarah perjalanannya.
Memang tak bisa dielakkan, absennya pemimpin yang nasionalis dan relegius merupakan malapetaka besar bagi bangsa ini. Nasionalisme Religius adalah sintesis Nasionalis ‘neutural agama’ dengan Islam. Nasionalisme Indonesia yang dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa. Pemimpin Nasionalis yang ber-ketuhanan adalah solusi yang tepat untuk krisis kepemimpinan saat ini.
Relegius berarti, ia taat terhadap norma-norma agama. Nilai-nilai keberagamaan ia jadikan api semangat dalam ber-negara. Seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, Negara adalah alat untuk agama. Maka untuk menekankan keadilan dan memelihara perdamaian dan ketertiban, harus adanya keseimbangan antara nilai-nilai nasionalis dan keagamaan.
Maka apabila api semangat Nasionalis relegius telah menyatu pada raga seorang pemimpin, tidak menutup kemungkinan jalan hidup (way of life) baru akan terbuka. Para pemimpin bekerja sesuai dengan poksinya. Sifat nasionalis relegius adalah sifat pemimpin masa depan. Ia tidak memimpin suatu bangsa dengan hawa nafsunya akan tetapi mempin dengan cinta kasih kepada tanah airnya.
Sebetulnya, di Indonesia sendiri bukan tidak ada corak pemimpin yang memiliki nilai-nilai Nasionalis Religius. Kita tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia pemeluk agama islam. Dan tidak sedikit pula dari jutaan umat islam di Indonesia yang memiliki karakter lidership yang Qur’ani. Namun permasalahannya kemudian, mampukah  manusia-manusia berkarakter pemimpin qur’ani tersebut menembus sistem perpolitikan Indonesia dan menduduki kursi kekuasaan Negara?
Menjaring pemimpin berkarakter qur’ani
Salah satu agenda besar bangsa Indonesia adalah pesta demokrasi Pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali. Jutaan rakyat Indonesia terlibat langsung dalam menentukan nasib bangsa. Semua orang yang sudah memiliki persyaratan memilih, berduyun-duyun menuju TPS untuk memilih pemimpinnya, terlepas dia mengenal atau tidak siapa orang yang dia pilih itu.
Semenjak lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang mengatur tentang pemilihan eksekutif secara langsung oleh rakyat, banyak yang berpendapat bahwa ini lebih demokratis. Rakyat lebih berdaulat dan presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi politik yang besar dari rakyat. Namun sayang, untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat tersebut para calon eksekutif negara itu menempuh jalan politik yang kurang baik. Mereka berkampanye dengan menebar ribuan pamplet dan benner di seluruh peloksok Indonesia, membagi-bagikan kaos, membagi-bagikan uang (money politic), atau yang lebih gandrung sekarang ialah membuat filem-filem pendek pencitraan baik dari para calon pemimpin tersebut. Sehingga biaya untuk menjadi pemimpin terkesan sangat mahal.
Untuk menanggulangi biaya kompanye yang sedemikan mahal, para calon akan melakukan apa pun untuk mendapatkan bantuan dana. Termasuk mengadakan perjanjian-perjanjian gelap dengan para investor asing. Misalnya, jika ia menang menjadi pemimpin terpilih, maka ia akan mempermudah perijinan bagi investor asing itu untuk penambangan pasir, emas, minyak bumi dan lain-lain. Kasarnya, para calon pemimpin itu menjual tanah airnya sendiri.
Sialnya, sampai detik ini cara yang demikian relative berhsil. Karena banyak dari rakyat Indonesia belum mampuh membaca karakter dari calon pemimpinnya tersebut. Mereka hanya mampu meraba-raba melalui performen, retorika, atau apa saja yang sudah diberikan kepada mereka. Mereka tidak mampuh membaca niat terselubung dari calon pemimpinnya itu. Mereka tidak sadar, satu suara yang mereka berikan sangat menentukan kemajuan dari bangsanya. Akibatnya, bangsa kita semakin hari semakin terpuruk.
Sistem pemilu yang seperti ini sesungguhnya telah menutup keran guna terjaringnya seorang pemimpin yang memiliki sifat nasionalis religious. Seseorang yang sudah tertanam dalam dirinya sebuah nilai religius, tidak akan melakukan tindakan-tindakan kotor. Maka dari itu, jika sistemnya tidak dirubah, maka keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan nasionalis religious, hanya isapan jempol belaka.
Mengingkari sila ke-4
            Pemilihan pemimpin eksekutif Negara dengan cara langsung seperti ini, sesungguhnya sudah mengingkari makna pancasila terutama sila ke empat. Disana secara eksplisit dikatakan, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dengan demikian, seyogyanya pemilihan para pemangku tinggi Negara itu harus dikembalikan pada forum musyawarah yang dalam hal ini adalah dewan perwakilan rakyat (DPR).
            Pada dasarnya, untuk menjaring pemimpin yang berkarakter qur’ani yang akan menjalankan kepemimpinan nasionalis religious, terlebih dahulu kita harus membenahi sistem pemilihannya. Sebab cara pemilu yang berkembang semenjak tahun 2004 nyatanya menjadi episentrum kegagalan pemimpin kita. Selain itu, kita juga harus memperketat peraturan dalam berkampanye, seperti mengatur anggaran biaya kampanye dan atau hal-hal lain yang dapat memicu ketidak adilan.
            Terakhir, penting rasanya untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, salah satunya dengan terus meningkatkan budaya literasi. jangan hanya menyuarakan pembangunan secara infrastruktur saja, namun suprastruktur juga harus terus di bangun.
Bima S, pengurus Rumah Baca Damar26 Cilegon, purwakarta

Hamidi, Simpatisan Rumah Baca Damar26.

Mengapa Reformasi?

Istilah reforrmasi semakin marak diucapkan di Indonesia –khususnya oleh para aktivis. Semenjak tumbangnya pemerintahan Soeharto atau rezim orde baru. Ada literature yang mengatakan bahwa reformasi mulai populer semenjak pergolakan keagamaan kristen yang hendak terpecah dari kristen katolik menjadi Kristen protestan pada abad 16. Terlepas dari itu semua, inti dari ajaran reformasi adalah perubahan, pembaharuan, perombakan dari satu system yang sudah buruk, menjadi system yang lebih baik. Atau dari kekuasaan yang abous of power menjadi kekuasaan yang lebih berpihak kepada rakyat.

Reformasi Indonesia

Jika kita melihat secara kasat mata, Indonesia adalah Negara yang selalu melakukan reformasi dalam tubuhnya. Mulai dari masa penjajahan, angkatan muda Soekarno dan kawan-kawan mampu mereformasi Indonesia menjadi Negara yang merdeka. Hingga memunculkan pemerintahan yang disebut orde lama. Setelah orde lama dianggap tidak mengutamakan lagi kepentingan rakyat, maka bangsa Indonesia kembali melakukan reformasi untuk menumbangkan orde lama, hingga berdirilah orde baru pimpinan jendral Soeharto. Hampir sama dengan Soekarno, Soeharto pun di kudeta oleh para mahasiswa yang mengepung gedung DPR di tahun 1998. Munculah sebuah era yang disebut dengan era reformasi. Terkadang saya pribadi tidak mengerti, mengapa era setelah tumbangnya Soeharto dinamanakan dengan era reformasi. Padahal, tumbangnya Soeharto bukanlah berarti bahwa reformasi telah di mulai.
Itu semua perubahan. Itu semua reformasi. Namun sayang, reformasi yang terjadi di Indonesia, bukanlah reformasi yang didasarkan oleh keinginan masyarakat. Namun reformasi yang terjadi di Indonesia adalah  reformasi hasil dari politik konspirasi dunia. Kita bangsa Indonesia, hanya dijadikan buah catur yang siap diarahkan kemana saja.

Soekarno merupakan orang yang sangat menentang Amerika, hubungannya lebih dekat dengan rusia. Ini terbukti dengan diakhir masa jabatnya, hubungan Soekarno dengan komunis semakin erat. Amerika sangat gerah karena ia tidak bisa melakukan interaksi ekonomi dengan Indonesia yang dinilai sebagai Negara yang sangat berpotensi. Dengan kecedasan dan kekuasaannya, kemudian Amerika melakukan kong kalikong dengan para pejabat tinggi dan terutama para millter Indonesia agar ditumbangkkannya pemerintahan Soekarno. Dijadikannya mahasiswa sebagai alat. Isu-isu ditebarkan. Kemudian mahasiswa pun bergolak, menggempur kekuasaan Soekarno, hingga Soekarno mampu dikudeta.

Ini semua adalah permainan politik yang cantik dari Jendral Soeharto yang pada waktu itu menjadi antek-antek Amerika dan Negara-negara super power lainnya. Ini bisa dibuktikan. ketika Soeharto menjabat sebagai presiden, pada tahun 1967 ia mengadakan rapat besar-besaran di jeneva, Swis. Dimana dalam rapat itulah seluruh kekayaan Indonesia mulai di perdagangkan kepada Negara-negara lain dengan dalih infestasi. Inilah awal mula korporat asing masuk di Indonesia. Dan menjarah seluruh kekayaan alam Indonsesia.
Pada tahun 1998, Soeharto rupanya telah sadar akan tindakannya yang telah menjual aset-aset Indonesia dan membuat rakyat Indonesia sengsara. Pada tahun inilah ia hendak menasionalisasikan seluruh perusahaan milik asing menjadi milik Indonesia, termasuk Freeport yang kontraknya telah selesai. Namun niat baik Soeharto ini rupanya telah diketahui oleh Negara super power, Amerika khususnya. Akhirnya dengan politik konspirasi, para anggota dewan disuap, mahasiswa-mahasiswa diperalat dengan dikompori oleh isu-isu yang mereka (Amerika dkk) buat. Sehingga turunlah kembali Soeharto, dan kekayaan alam Indonesia masih digenggam asing. Begitu seterusnya sampai pemerintahan sekarang. Semuanya di penuhi dengan intrik-intrik politik konspirasi asing. Indonesia hanya manjadi boneka mainan belaka.
Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa Reformasi yang terjadi di Indonesia tak lebih hanya konspirasi besar dunia. Bukan kesadaran murni dari rakyatnya.

Mengapa Reformasi ?

Sebab kita belum benar-benar melakukan reformasi, bahkan dimulai pun belum. Indonesia masih dalam kerangkeng yang membuatnya semakin lemah dan terpuruk.
Para pemimpin kita sekarang tidak mempunyai visi yang kuat untuk membebaskan kita dari keterpurukan, bahkan kita sering dijadikan sebagai alat untuk memperkaya dirinya sendiri. Mereka seharusnya sudah di pulangkan ke kampungnya masing-masing.
Kitalah, generasi yang tidak hanya mempunyai kecerdasan intelektuil, namun juga kecerdasan emosional dan spiritual yang harus mulai bergerak. Negara kita butuh orang-orang yang sadar akan nilai-nilai nasionalisme dan humanisme.
Sekarang, bukan saatnya lagi kita tersekat-sekat oleh agama, ormas, atau kotak-kotak lain yang menyempitkan gerak kita. Sekarang waktunya berhimpun, menyatukan visi untuk membangunkan Indonesia yang mati suri.
Penulis adalah pengasuh Rumah Baca Damar26

Mahasiswa Jinayah Siyasah Semester 4.

So’al Mbalelo Kader Golkar

Kekisruhan menjelang pemilu 2014 akhir-akhir ini sudah semakin terasa. Hampir setiap hari media memberitakan tentang segala urusan terkait dengan pemilu. Salah satu yang sedang ramai dibicarakan ialah so’al mbalelonya kader partai golkar.
Hal ini ternyata banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk juga saya. Mereka ingin tahu, apa sebenarnya yang menjadi alasan utama kader-kader golkar sehingga meninggalkan partai yang sudah lama menaunginya tersebut.

Bermula dari keluarnya Rahmatulloh selaku ketua PK golkar kecamatan purwakarta, yang juga menjabat sebagai anggota DPRD. Hengkangnya Rahmat ini menimbulkan banyak spekulasi, baik itu dari kalangan pemerhati politik atau pun dari kalangan akademisi. Spekulasi terbesar ialah bahwasanya ada kekeroposan di tubuh golkar, khususnya diwilayah Cilegon, sehingga kader yang potensi konstituennya cukup besar seperti Rahmatulloh memilih keluar dan masuk dalam partai yang lain. Hal ini juga dikuatkan dengan keluarnya dua kader lainnya seperti Musthofa dan Sukmayada. Ini semakin memperkuat, bahwa dalam tubuh golkar ada semacam sembilu yang menyakiti para kadernya.

Dalam harian Banten Post edisi 13/05, wakil sekertaris DPD II partai Golkar M Nasir seolah menertawakan alasan Musthofa keluar dari partai, yakni karena tidak diberikan proyek. Namun, jika kita mau menelaah statement Nasir kepada Musthofa tersebut dalam kajian semiotika bahasa, ini merupakan suatu symbol. Artinya, Nasir mencoba menutup-nutupi apa yang sebetulnya terjadi dalam tubuh partai. Boleh jadi alasan Musthofa itu adalah gambaran umum kinerja partai yang sesunguhnya. Bahwasanya orang bergabung dengan partai politik, mindsetnya bukan lagi ingin berpartisipasi untuk perubahan bangsa agar lebih baik, tapi saling kejar mengejar proyek untuk kepentingannya pribadi. Baik itu proyek jasa, atau proyek untuk mendapatkan jabatan tertentu.

Kalau kita mau menengok sejarah, sebutlah pada era Soekarno dan kawan-kawan. Militansi kader terhadap partainya sangatlah tinggi. Mereka sangat menjunjung tinggi kesatuan dan kesolidan pergerakan partai. Sebab mereka satu jiwa dan satu misi yaitu untuk membuat Indonesia jauh lebih baik. Tidak terselip kepentingan untuk medapatkan tender atau untuk diangkat menjadi pemegang jabatan tertentu.  Kalau pun ada konflik, persis konflik itu hanyalah masalah perbedaan cara atau sudut pandang dalam memulai suatu pergerakan.

Namun, jika mindsetnya sudah seperti kader-kader golkar diatas, maka ketika kepentingan pribadinya sudah tidak lagi mampu di penuhi oleh partai, atau partai lebih memihak kepada kader yang lain, maka pilihan untuk ‘cabut’ dari partai bukanlah persoalan yang berat.

Jelaslah sudah, bahwa sembilu yang menyakiti kader golkar itu adalah tidak terpenuhinya sebuah kepentingan. Musthofa yang backgroundnya sebagai pengusaha tentu kepentingannya adalah proyek. Sebagaimana kebanyakan kader golkar lainnya juga memiliki background yang sama dengan Musthofa.
M Nasir bisa berkata demikian –seolah dirinya benar- karena mungkin saja kepentingan pribadinya dalam tubuh golkar masih terpenuhi. Saya tidak yakin jika apa yang menjadi kepentingan Nasir tidak lagi terpenuhi dia tidak akan mengambil tindakan seperti Musthofa atau yang lainnya.

Inilah realita perpolitikan di Indonesia. Partai politik yang seharusnya menjadi tempat peracikan formula untuk kebaikan Negara, kini telah berubah serupa badan usaha atau badan penyalur kepentingan.
Tidak ada kawan atau musuh sejati dalam politik, begitu kiranya ajaran Nicolo Macheavelli yang sesungguhnya telah melukai cita-cita politik Aristoteles, sang pelopor istilah politik. Tidak ada yang salah dalam politik, namun orang-orang yang menyalah-artikanlah yang salah. Tidak ada yang salah dengan partai Golkar, tapi oknum-oknum yang menyalahgunakanlah yang salah.

Penulis adalah pengurus balai belajar Rumah Baca Damar26 Cilegon, Purwakarta.

Bendahara Umum FLP Cilegon.