Jumat, 07 Juni 2013

Rumah Baca Damar26 Memilih ‘Mandiri’

Rumah Baca Damar26  ketika masih di rumah pribadi Ayatulloh  Marsai
Sekitar satu tahun yang lalu, saya, Ayatulloh Marsai (pak Ayat), beserta kawan-kawan yang lain menggagas sebuah rumah baca yang kami beri nama ‘Rumah Baca Damar26’. Sebetulnya keinginan itu sudah lama mengendap dalam kepala pak Ayat, bahkan lama sekali semenjak ia lulus kuliah dari IAIN Sunan Gunung Jati –sekarang UIN—Bandung sekitar 13 tahun silam. Karena beliau belum juga menemukan kawan-kawan yang satu misi, maka keinginan itu pun sempat terkubur.

Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 2012, secara primordial kami nyatakan bahwa rumah Baca kami telah berdiri. Awalnya kami menggunakan rumah pribadi pak Ayat sebagai skretariatan, berikut juga dengan koleksi buku-buku milik beliau. Rumah pak ayat terhitung kurang strategis untuk sebuah tempat membaca, sehingga tidak banyak orang-orang yang datang untuk membaca atau meminjam buku. Atas dasar itulah, kami memutuskan untuk mencari tempat yang baru. Alhamdulillah, tidak membutuhkan waktu yang lama pak Ayat sudah menemukan tempat yang strategis, tepatnya di lingkungan Pasar Bunder kecamatan purwakarta. Dengan harga sewa yang juga sangat strategis. Pak ayat pun langsung menyewa tempat tersebut selama 5 tahun dengan harga 12.000.000,-. Dan biaya itu murni dari kantong pribadi pak Ayat. Yah, itu uang pribadi beliau.

Mengapa Rumah Baca?

Kebetulan, saya dan kawan-kawan yang ikut serta mendirikan Rumah Baca ini adalah murid-murid pak Ayat. Beliau berhasil menanamkan cinta baca kepada kami ketika kami duduk di bangku SLTA. Kecintaan itu terus berlanjut hingga kami duduk di bangku kuliah. Sehingga, kami bisa merasakan kehawatiran yang sama dengan apa yang di hawatirkan pak Ayat. Yakni, rendahnya minat baca masyarakat juga rendahnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan sumber daya manusia.
Damar26 ditempat yang baru. link. pasar bunder
Kami yakin, bahwa sebuah perdaban yang maju selalu dimulai dengan peningkatan sumber daya manusia. Dengan cara terus mensosialisasikan pentingnya dunia literasi. Membaca, menulis, berdiskusi adalah sebuah kepastian yang harus dilakukan jika kita menginginkan negeri kita ini tidak menjadi negeri terbelakang terus menerus.
Memang, bukannya tidak ada rumah baca atau taman baca disekitar lingkungan kami. Hanya saja, kami menilai taman baca tersebut tidak memberikan perhatian lebih kepada masyarakat. Motifasi terbentuknya juga kami kira tidak lebih hanya sekedar penebus dosa atas program-program pemerintah. Sedangkan swadaya untuk masyarakat sangatlah kurang. Biasanya mereka hanya mengadakan kegiatan ketika ada blok green (dana segar) dari pemerintah. Miris.

Konvensional atau mandiri?

Setelah beberapa bulan berjalan. Kami mulai merasa kebingungan tentang bagaimana arah rumah baca kami selanjutnya. Saya pribadi pernah didatangi oleh salah satu pegawai pemerintahan daerah. Dia mengingatkan saya agar tidak usahlah membuat rumah baca baru. Kemudian dia meminta saya untuk mengurusi Taman Baca Masyarakatnya (TBM) yang berada pada naungan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). TBM model begini adalah TBM konvensional. Artinya, semua yang dijalankannya harus sesuai dengan aturan pemerintah, mendapat subsidi dari pemerintah, dan semua-mua terkait dengan pemerintah tak ketinggalan pula wajib dan kudu pro pemerintahan.
foto bersama: relawan rumah baca Damar26
Rumah baca kami pun sempat dibuat bingung. Apakah rumah baca ini akan dibuat atau dijalankan apa adanya (Mandiri). Apakah kemudian kami harus meresmikan rumah baca ini dengan mendaftarkanya ke pihak dinas yang akan melalui birokrasi-birokrasi yang menjejngkelkan. Dan memenuhi aturan-aturan yang kadang sangat merepotkan.
Petunjuk terang kemudian datang dari buku Gempa Literas karya Gol A Gong dan Agus M Irkham. Dalam salah satu tulisannya mengenai TBM, Gol A Gong menawarkan dua madzhab mengenai TBM. Yaitu madzhab konvensional dan madzhab mandiri. Mas Gong menjelaskan, bahwa TBM bermadzhab konvensional harus menempuh aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Kelebihannya, selain terlegalkan, juga akan mendapat bantuan berupa dana-dana dari pemerintah. Namun, kita tidak akan bebas mengkritisi jika terjadi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan, idelanya TBM ialah menjadi basis pergerakan sosial, apa pun itu bentuknya.
Lain halnya dengan TBM bermadzhab mandiri. Meski dengan buku seadanya, fasilitas seadanya, tidak ada subsidi apa pun darri pemerintah, namun justru itu yang akan membuat kita terbebas dari belenggu-belenggu yang membuat kita tidak bebas melakukan revolusi sosial.
Saya selalu ingat apa yang dikatakan pak Ayat selaku presiden rumah baca kami, bahwasnya rumah baca kita ini adalah dapur  yang akan mengolah para pemuda khususnya, agar menjadi pemuda yang mampu membuat perubahan, agar mampu membangkitkan bangsa kita yang semakin hari semakin terseok-seok.
Maka, kami sepakat bahwa rumah baca kami, Rumah Baca Damar26, akan memilih madzhab mandiri.


Penulis adalah relawan rumah baca Damar26

1 komentar:

  1. Sukses itu kebebasan menciptakan perubahan. Sama seperti yang dilakukan Rumah Baca Damar26. Sukses terus! Semangat terus!

    BalasHapus