Sabtu, 01 Juni 2013

Dalam Dekapan Ukhwah: ‘Membangun Cinta Dengan Iman’

Saya teringat bagaimana pertama kali saya mengenal Ustadz Salim A. Fillah. Ketika itu ada acara bedah buku di kampus. Konon buku yang dibedah adalah buku Salim A. Fillah. Kawan-kawan satu organisasi sepertinya sangat mengenal nama itu, sedangkan saya yang mengaku pecinta buku malah merasa sangat asing dengan nama tersebut.
Saya pun hadir dalam acara bedah buku itu. Suasana begitu ramai, aula kampus yang terhitung sangat luas hampir penuh terisi orang. Didepan, sang penulis sendiri sudah hadir, berikut dengan pembedahnya, Langlang Randawa. Keduanya masih muda.
Acara pun dimulai. Sebagai pembuka, ustadz Salim mengajukan sebuah pertanyaan kepada audien. Namun, tak satu pun dari audien yang berani menjawab, entah apa alasannya. Iseng saja, saya acungkan tangan dan memberanikan diri menjawabnya. Saya tahu jawaban saya itu ngawur, dan jauh dari kata benar. Akan tetapi, ternya saya dipanggil oleh ustadz Salim untuk maju ke depan. Kemudian ia memberikan bukunya yang terbaru ‘Dalam DekapanUkhwah’ beserta tanda tangannya. Saya tidak mengira, bahwa buku itu akan menjadi buku yang menempati daftar nomor satu dalam buku yang saya suka.
Seperti Makan Gado-gado
Meminjam istilahnya Hernowo bahwasanya ada buku yang bergiji dan ada pula buku yang tidak bergiji. Bagi saya, buku yang bergiji itu ialah manakala kita merasa sangat kenyang—dalam arti kita merasa enak dan banyak pengetahuan baru—setelah kita membacanya. Begitulah yang saya rasakan ketika membca buku ustadz Salim. Baru membaca dua sampai  tiga halaman saja, saya merasa sangat ketagihan, dan ingin terus membacanya sampai akhir, sehingga hampir tiga kali saya menamatkan bukunya.
Gaya betuturnya yang halus dan unik saya kira membuat siapa pun akan dibuat jatuh cinta dalam gaya tulisannya. Saya katakan unik, karena dia mempunyai gaya khusus untuk menyampaikan ide atau gagasannya. Sebagai seorang ustadz, dia mempunyai trik untuk menyampaikan ajaran-ajaran islam agar bisa diterima oleh setiap orang. Biasanya dia berbicara sejarah, filsafat, hukum kemudian secara tepat dikaitkan dengan ajaran-ajaran islam yang bersumber dari Al-qur’an dan sunah. Inlah yang membuat saya kagum dengan beliau, dia tidak pernah menutup diri untuk membaca buku atau belajar mengenai apa pun. Pada akhirnya, semakin banyak kita belajar maka kita akan semakin bijaksana menyikapi sebuah permasalahan. Begitu kira-kira pandangannya.
Membangun Cinta Dengan Iman
Dalam bukunya yang berjudul “Dalam Dekapan Ukhwah”  ustadz Salim mencoba menguraikan tentang pentingnya iman dalam menjalin suatu hubungan dengan siapapun. Karena dengan imanlah seseorang mampu mengambil cinta dan kasih dari tuhan untuk ditebarkan kepada manusia yang lain. Dengan begitu, kita tidak akan merasa terluka walau bagaimanapun sikap sahabat kita terhadap kita. Karena cinta dan kasih tuhan sangatlah tulus dan tidak terbatas.
“Muslim yang satu adalah cermin bagi muslim yang lainnya” begitu kiranya ucap nabi besar kita. Seakan mengisyaratkan, bahwa setiap muslim di dunia ini harus saling mengikatkan diri dalam tali persaudaraan. Saat kita bercermin, ketika kita melihat keburukan pada diri kita, maka kita tahu yang harus kita benahi bukanlah bayang-bayang dalam cermin, atau bahkan kita menghancurkan cerminnya. Namun yang harus kita benahi tentulah diri kita sendiri. Kebanyakan dari kita, ketika kita merasa tidak nyaman berhubungan dengan orang lain, maka kita habis-habisan mengkritisi orang tersebut dengan segala keburukannya. Padahal siapa yang tahu bahwa keburukan itu sebetulnya ada pada diri kita. Ustadz Salim mencoba mengingatkan kita untuk terus mengintropeksi diri, terus dan terus.
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh imam Abu Dawud, Rosululloh SAW. Pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang bukan nabi, dan bukan pula syuhada. Tapi bahkan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka dihari kiamat nanti, tersebab kedudukan yang diberikan oleh Allah pada mereka. Mereka itu adalah segolongan manusia yang saling mencintai karena rahmat Allah. Bukan karena sebab kekerabatan dan darah. Bukan pula di dasarkan pemberian harta. Demi Allah, wajah mereka pada hari itu bersinar cemerlang dan mereka berada diatas cahaya. Mereka tidak merasa khawatir ketika manusia lain ketakutan, dan mereka tidak bersedih ketika manusia lain berduka.”
Membaca buku ini kita dapat belajar banyak dari orang-orang yang diakrabkan hatinya oleh Allah atas dasar keimanan yang mereka miliki. Sebutlah persahabtan antara Zaid bin Tsabit dengan Ibnu Abbas. Meski sangat berbeda pandangan tentang masalah waris, namun ketika bertemu, keduanya begitu mesra, saling memuji dan lain sebagainya.
Atau persahabatn antara Ali bin Abu Thalib dengan Talhah. Meski sejarah menggambarkan betapa mereka sangat bertentangan saat perang Jamal. Namun Ustadz Salim menepis itu semua, dia mengatakan bahwa sebetulnya Talhah telah mengunjungi Ali. Dengan rasa kasih dan sayang antara keduanya, mereka menyepakati untuk menghentikan perang. Namun ketika Talhah keluar dari rumah Ali, ia dibunuh oleh seseorang yang tidak senang dengan perdamaian mereka.
Oleh karenanya, ketika hubungan kita dengan seseorang sedang buruk. Atau ketika semua orang seakan menjauh dari kita, periksalah diri kita sendiri. Siapa tahu iman kita sedang compang-camping, sehingga segala perbuatan yang kita lakukan terkesan tidak membuat nyaman orang lain.
Islam adalah agama yang sangat mengedepankan cinta kasih antar sesama. “tidak dikatakan beriman seseorang, manakala dia belum bisa mencintai saudaranya (muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri” Begitulah kiranya ajaran rosul kita.
Memabaca tulisan-tulisan Salim A Filah, kita tidak hanya mendapat petuah-petuah mutiara yang menenangkan. Melainkan juga kita akan mendapat penyegaran-penyegaran terhadap sejarah, filsafat, dan juga pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Selain itu, nilai-nilai sastra dalam setiap tulisannya terasa begitu kental. Beliau selalu menyelipkan puisi-puisi dalam stiap karyanya.
“Dalam dekapan ukhwah, kita mengambil cinta dari langit lalu menebarkannya di bumi. Sungguh disurga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangun dari sini, dalam dekapan ukhwah.” Salim A Fillah.


Penulis adalah penikmat segala jenis buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar