Kamis, 13 Desember 2012

Demokrasi & Literasi


Suatu ketika ada seorang sahabat datang kepada saya, ia menanyakan pendapat saya tentang demokrasi. Sebisanya saya mengungkapkan apa yang saya tahu tentang demokrasi. Namun, dengan gencar ia menepis pendapat-pendapat saya. Akhirnya saya memutuskan untuk diam dan mendengarkan apa yang sahabat saya itu ucapkan.

Dia menganggap bahwa demokrasilah yang menyengsarakan kehidupan rakyat Indonesia, demokrasi itu hanya menguntungkan sebagian orang saja, demokrasi itu sekuler dan kafir, demokrasi hanya membuat para kapitalis semakin menjamur dan lain sebagainya. Saya mendengarkan dengan seksama apa yang sedang ia bicarakan. Kemudian ia menawarkan konsep suatu negara terhadap saya, dia bilang Indonesia sudah saatnya menerapkan hukum islam, layaknya nabi Muhammad ketika di madinah. Intinya dia mengajak saya bergabung bersamanya untuk turut memperjuangkan Negara islam di indonesia. Saya hanya tersenyum mendengar ajakannya itu, saya memberi penjelasan kepadanya bahwa saya belum bisa, mungkin lain waktu saja.
Sedikitnya saya pernah membaca tentang konsep Negara islam, dan sejujurnya, bukan saya tidak suka dengan system itu, tentunya sebagai orang islam saya sangat bangga manakala hukum-hukum islam bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia. namun saya kira  dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini, agaknya kurang tepat. Bukan kedamaian yang kita dapatkan, bahkkan mungkin peperangan yang akan terjadi pada rakyat Indonesia.
Yang menjadi pikiran saya adalah, benarkah demokrasi yang menyebabkan carut-marutnya bangsa ini? Agaknya sahabat saya itu berbeda pandangan dengan saya dalam memahami demokrasi.

MENGENAI DEMOKRASI

Umum mengartikan demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat (Demos-Kratien), artinya rakyat diberikan sedemikian hak untuk ikut andil dalam menjalankan roda pemerintahan. Tentu saja tidak semua rakyat, demos disitu kemudian diartikan dengan perwakilan. Rakyat memilih wakilanya sebagai penyambung lidah atas kesejahteraan mereka sendiri.

Masalahnya kemudian, rakyat yang seperti apa yang berhak menjadi wakil atas rakyat yang lainnya. Apakah dengan paham demokrasi itu kemudian menghalalkan semua golongan rakyat untuk menjadi wakil, entah itu dari golongan pengusaha, kiyai, akademisi, atau pun dari golongan buruh. Tidak peduli akan basicnya sebagai pemimpin atau bukan, tidak peduli dia punya kemampun atau tidak, tidak peduli dia seorang koruptor atau bukan, yang pasti jika rakyat telah menghendaki, dia akan menjadi seorang wakil rakyat. Saya kira, cara pandang terhadap demokrasi yang seperti inilah yang membuat bangsa ini menjadi ambruk.
Sayangnya, cara pandang yang demikian itu menerap pada rakyat Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak peka terhadap calon pemimpinnya. Bukanlah kemampuan yang dilihat, akan tetapi uang dan popularitas. Banyak rakyat yang kemudian memilih para wakilnya atas dasar uang yang diberikan saat kompanye, yang jelas-jelas itu mencederai nilai-nilai demokrasi. Atau pun karena popularitas calon pemimpin tersebut, semisal seorang artis atau aktor. Maka dengan mudah rakyat terbuai oleh kata-kata manisnya.
Seungguhnya, jika cara pandang masyarakat Indonesia masih demikian, maka saya anggap Indonesia belum mampu atau gagal dalam menerpkan system demokrasi. 

Pentingnya Literasi Dalam Berdemokrasi

Paling tidak, ada satu hal yang harus dipenuhi jika demokrasi ingin berjalan dngan baik, satu hal tersebut ialah “kecerdasan rakyat”, baik itu rakyat yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, atau pun rakyat yang hendak memilih wakil rakyat.
Sebagai wakil rakyat, tentunya ia harus cerdas. Baik itu cerdas secara intelektualnya sebagai pemimpin, emosionalnya, terlebih lagi spiritualnya. Ketika hal ini sudah terpenuhi, maka suatu kepemimpinan akan menjadi seimbang. Kecerdasan yang ia miliki akan memenjaranya untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang.

Selanjutnya, sebagai rakyat yang diwakili seyogyanya rakyat juga harus cerdas dalam memilih wakilnya. Tidak terpengaruh akan popularitas ataupun dengan uang (money politik), masyarakat harus keritis dan peka, karena jika sedikit saja kita salah dalam memilih, maka imbasnya akan sangat besar. Untuk menggapai kecerdasan itu tak ada lain tentunya kita harus membaca, baik itu membaca secara tekstual atau pun kontekstual. Karena dengan membaca paling tidak kepala kita sudah  mempunyai gambaran tentang apa dan bagaimana sosok pemimpin kita nanti.

 Disinilah pentingnya budaya literasi dalam berdemokrasi. Dalam budaya literasi kita diajarkan untuk menyikapi suatu hal dengan keritis dengan metode membacanya, setelah itu kita di tuntut untuk menuangkan opini kita dalam bentuk tulisan, kemudian mendiskusikanya. Begitu pun saat kita memilih seorang pemimpin, kita tidak bisa melihat seorang pemimpin hanya deri casingnya saja. Kita harus membacanya secara detail, agar kita tidak salah memilih pemimpin yang pongah.

Oleh karenanya, jika kita ingin mendapati demokrasi bisa bangkit, yang implikasinya juga kepada kebangkitan suatu bangsa. Maka kita –pemerinth khususnya-- harus mendukung gerakan-gerakan literasi. Sebab dengan langkah inilah demokrasi dinegara kita tidak hanya baik secara birokrasi, namun juga baik secara substansial.
Wallahu’alam
Penulis adalah pengurus rumah baca Damar26 cilegon.
Mahasiswa semester III IAIN Serang
Alumnus Madarash Al-khairiyah karangtengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar