Sabtu, 01 Juni 2013

Menjaring Pemimpin Berkarakter Qur’ani

Sering sekali bangsa kita disebut-sebut sebagai bangsa yang multi-krisis, karena berbagai ketimpangan yang terjadi didalamnya, baik itu dari segi budaya, sosial terlebih lagi ekonomi. Sehingga harus segera dicari obatnya. jika tidak, harapan untuk keluar dari multikrisis hanya akan menjadi angan-angan belaka. Hemat penulis, salah satu penyebab multi krisis di Indonesia dikarenakan dampak krisis kepemimpinan (crisis leadership) itu sendiri, yang menjadi titik hitam sejarah perjalanannya.
Memang tak bisa dielakkan, absennya pemimpin yang nasionalis dan relegius merupakan malapetaka besar bagi bangsa ini. Nasionalisme Religius adalah sintesis Nasionalis ‘neutural agama’ dengan Islam. Nasionalisme Indonesia yang dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa. Pemimpin Nasionalis yang ber-ketuhanan adalah solusi yang tepat untuk krisis kepemimpinan saat ini.
Relegius berarti, ia taat terhadap norma-norma agama. Nilai-nilai keberagamaan ia jadikan api semangat dalam ber-negara. Seperti yang dikatakan Fazlur Rahman, Negara adalah alat untuk agama. Maka untuk menekankan keadilan dan memelihara perdamaian dan ketertiban, harus adanya keseimbangan antara nilai-nilai nasionalis dan keagamaan.
Maka apabila api semangat Nasionalis relegius telah menyatu pada raga seorang pemimpin, tidak menutup kemungkinan jalan hidup (way of life) baru akan terbuka. Para pemimpin bekerja sesuai dengan poksinya. Sifat nasionalis relegius adalah sifat pemimpin masa depan. Ia tidak memimpin suatu bangsa dengan hawa nafsunya akan tetapi mempin dengan cinta kasih kepada tanah airnya.
Sebetulnya, di Indonesia sendiri bukan tidak ada corak pemimpin yang memiliki nilai-nilai Nasionalis Religius. Kita tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia pemeluk agama islam. Dan tidak sedikit pula dari jutaan umat islam di Indonesia yang memiliki karakter lidership yang Qur’ani. Namun permasalahannya kemudian, mampukah  manusia-manusia berkarakter pemimpin qur’ani tersebut menembus sistem perpolitikan Indonesia dan menduduki kursi kekuasaan Negara?
Menjaring pemimpin berkarakter qur’ani
Salah satu agenda besar bangsa Indonesia adalah pesta demokrasi Pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali. Jutaan rakyat Indonesia terlibat langsung dalam menentukan nasib bangsa. Semua orang yang sudah memiliki persyaratan memilih, berduyun-duyun menuju TPS untuk memilih pemimpinnya, terlepas dia mengenal atau tidak siapa orang yang dia pilih itu.
Semenjak lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang mengatur tentang pemilihan eksekutif secara langsung oleh rakyat, banyak yang berpendapat bahwa ini lebih demokratis. Rakyat lebih berdaulat dan presiden terpilih akan mendapatkan legitimasi politik yang besar dari rakyat. Namun sayang, untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat tersebut para calon eksekutif negara itu menempuh jalan politik yang kurang baik. Mereka berkampanye dengan menebar ribuan pamplet dan benner di seluruh peloksok Indonesia, membagi-bagikan kaos, membagi-bagikan uang (money politic), atau yang lebih gandrung sekarang ialah membuat filem-filem pendek pencitraan baik dari para calon pemimpin tersebut. Sehingga biaya untuk menjadi pemimpin terkesan sangat mahal.
Untuk menanggulangi biaya kompanye yang sedemikan mahal, para calon akan melakukan apa pun untuk mendapatkan bantuan dana. Termasuk mengadakan perjanjian-perjanjian gelap dengan para investor asing. Misalnya, jika ia menang menjadi pemimpin terpilih, maka ia akan mempermudah perijinan bagi investor asing itu untuk penambangan pasir, emas, minyak bumi dan lain-lain. Kasarnya, para calon pemimpin itu menjual tanah airnya sendiri.
Sialnya, sampai detik ini cara yang demikian relative berhsil. Karena banyak dari rakyat Indonesia belum mampuh membaca karakter dari calon pemimpinnya tersebut. Mereka hanya mampu meraba-raba melalui performen, retorika, atau apa saja yang sudah diberikan kepada mereka. Mereka tidak mampuh membaca niat terselubung dari calon pemimpinnya itu. Mereka tidak sadar, satu suara yang mereka berikan sangat menentukan kemajuan dari bangsanya. Akibatnya, bangsa kita semakin hari semakin terpuruk.
Sistem pemilu yang seperti ini sesungguhnya telah menutup keran guna terjaringnya seorang pemimpin yang memiliki sifat nasionalis religious. Seseorang yang sudah tertanam dalam dirinya sebuah nilai religius, tidak akan melakukan tindakan-tindakan kotor. Maka dari itu, jika sistemnya tidak dirubah, maka keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan nasionalis religious, hanya isapan jempol belaka.
Mengingkari sila ke-4
            Pemilihan pemimpin eksekutif Negara dengan cara langsung seperti ini, sesungguhnya sudah mengingkari makna pancasila terutama sila ke empat. Disana secara eksplisit dikatakan, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dengan demikian, seyogyanya pemilihan para pemangku tinggi Negara itu harus dikembalikan pada forum musyawarah yang dalam hal ini adalah dewan perwakilan rakyat (DPR).
            Pada dasarnya, untuk menjaring pemimpin yang berkarakter qur’ani yang akan menjalankan kepemimpinan nasionalis religious, terlebih dahulu kita harus membenahi sistem pemilihannya. Sebab cara pemilu yang berkembang semenjak tahun 2004 nyatanya menjadi episentrum kegagalan pemimpin kita. Selain itu, kita juga harus memperketat peraturan dalam berkampanye, seperti mengatur anggaran biaya kampanye dan atau hal-hal lain yang dapat memicu ketidak adilan.
            Terakhir, penting rasanya untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, salah satunya dengan terus meningkatkan budaya literasi. jangan hanya menyuarakan pembangunan secara infrastruktur saja, namun suprastruktur juga harus terus di bangun.
Bima S, pengurus Rumah Baca Damar26 Cilegon, purwakarta

Hamidi, Simpatisan Rumah Baca Damar26.

1 komentar: