Rabu, 19 Desember 2012

Susahnya Menjadi “Pahlawan”



“…Semboyan kita tetap, “Merdeka atau mati.” Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh kepada kita. Sebab Allah akan berpihak kepada jalan yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Merdeka!” (Pidato Bung Tomo)

Cuplikan pidato Bung Tomo diatas, mengisaratkan keberanian dan rasa optimisme tinggi untuk berperang melawan tentara sekutu dan NICA yang kembali mendaratkan kakinya untuk menjajah Indonesia pada tanggal 29 September 1945 selepas Proklamasi kemerdekaan dibacakan. Mendengar pidato Bung Tomo tersebut, rakyat Indonesia semakin bergelora jiwanya untuk membasmi segala bentuk penjajahan di Bumi Pertiwi.

Resolusi Jihad Nahdatul Ulama

Sebelum Bung Tomo menyuarakan Pidatonya, sesungguhnya Rakyat Indonesia –yang mayoritas beragama islam-- Hatinya sudah terpanggil untuk berperang melawan Sekutu dan NICA, atas dasar Resolusi Jihad Nahdatul Ulama. Ketika Sekutu dan NICA datang ke berbagai daerah di Indonesia untuk kembali menjajah, pemerintah Republik Indonesia tidak melakukan tindakan atau perlawanan yang nyata. Maka, perhimpunan Nahdatul Ulama seluruh Jawa dan Madura mengadakan rapat besar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 untuk mengajukan Resolusi Jihad kepada Pemerintah Indonesia. Mereka menyatakan bahwa setiap bentuk penjajahan adalah suatu kezaliman yang melanggar prikemanusiaan dan nyata-nyata diharamkan oleh agama Islam.

Setelah adanya Resolusi Jihad dari Nahdatul Ulama itu, sekitar 60 juta rakyat Indonesia siap berjihad membela agama dan bangsa Indonesia.
Ditambah dengan pidato-pidato heroik dari Bung Tomo, apalagi setiap akhir pidatonya, Bung Tomo selalu mengucapkan takbir. Jelas semakin membuat mujahid-mujahid muslim semakin bergelora.

Kemenangan Indonesia

Kegigihan rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan, menimbulkan pecahnya pertempuran antara tentara sekutu dan NICA dengan rakyat Indonesia pada tanggal 10 November 1945 --oleh karena itulah hari pahlawan di peringati pada tanggal tersebut. Tentara sekutu dan NICA yang notabene pemenang dari Perang Dunia II (1939-1945) serta Perang Asia Timur Raya (1941-1945) yang tentunya mempunyai persenjataan yang amat lengkap, tidak membuat rakyat Indonesia gentar meski hanya mempunyai beberapa pucuk senjata hasil rampasan dari jepang, selebihnya menggunakan bambu runcing.

Amat membanggakan sekali, semangat mempertahankan tanah air yang didorong oleh sepirit religiusitas (Syahid) membuat bangsa Indonesia memenangkan peperangan terebut. Prestasi yang luar biasa, jika pada saat perang Dunia II sekutu dan NICA tidak pernah kehilangan panglima besarnya, maka pada saat melawan tentara Indonesia, sekutu dan NICA kehilangan jendral besar mereka yang bernama Brigadir Jendral Mallaby. Mereka (tentara sekutu dan NICA) pun akhirnya lari tunggang langgang meninggalkan Negeri Indonesia.

Ini patutnya kita jadikan pelajaran berharga, khususnya untuk generasi muda penerus bangsa. Dulu, bangsa kita tidak bisa dianggap remeh. Tidak bisa disembarangkan oleh bangsa lain. Negara kita punya karisma yang lebih. Namun, apakah karisma itu masih bertahan sampai sekarang? Saya yakin pembaca mempunyai penilaian masing-masing.

Susahnya Jadi Pahlawan

Kini, secara dhohir Negara kita memang telah merdeka, Tidak ada lagi imperealisme yang terjadi di bangsa ini, semua orang yang dianggap mempunyai peran besar dalam proses kemerdekaan diberi gelar pahlawan. Lantas masih bisakah kita menjadi pahlawan?

Sejatinya, pahalawan adalah orang yang berani dan mau mengorbankan dirinya demi menegakkan kebenaran. Orang-orang yang memiliki sikap patriotisme dan berjiwa kesatria. Maka dari itu, di tengah keadaan bangsa yang carut-marut ini, di tengah bangsa yang sedang terpuruk karena korupsi, di tengah bangsa yang selalu terjadi ketimpangan sosial ini, sesungguhnya kita juga bisa menjadi pahlawan. Dengan melakukan hal apapun yang bisa kita lakukan demi bangkitnya kembali Indonesia. Contoh kecilnya seperti yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, iya mendobrak dan membongkar kepongahan anggota DPR yang menjadi “Calo” atas perusahaan-perusahaan BUMN. Hal yang semacam ini patut kita acungi jempol dan patut juga diberi gelar pahlawan. Dahlan dengan gagah berani membuka hal kotor yang selama ini disembunyikan.

Namun sayang, untuk melakukan hal tersebut tidaklah mudah. Mungkin sama sulitnya dengan perjuangan pahlawan jaman dulu. Butuh tekad dan keteguhan hati yang mantap. Oleh karena itu, kita sepatutnya kembali kepada kebebasan kita selaku manusia. Tidak seharusnya kita takut kepada sesuatu yang salah, kebenaran memanglah harus ditegakkan.

Pada akhirnya, penulis ingin mengajak, marilah bersama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Membenarkan yang benar, mensalahkan yang salah. Membantu yang berhak dibantu, menolong yang sepatutnya harus ditolong. Jadilah pahlawan minimal di lingkungan kita masing-masing. Merdeka!

Bima S. Penulis adalah pendiri komunitas baca Damar26
Pecinta segala jenis buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar