Kekisruhan menjelang
pemilu 2014 akhir-akhir ini sudah semakin terasa. Hampir setiap hari media
memberitakan tentang segala urusan terkait dengan pemilu. Salah satu yang
sedang ramai dibicarakan ialah so’al mbalelonya
kader partai golkar.
Hal ini ternyata banyak
menarik perhatian masyarakat, termasuk juga saya. Mereka ingin tahu, apa
sebenarnya yang menjadi alasan utama kader-kader golkar sehingga meninggalkan
partai yang sudah lama menaunginya tersebut.
Bermula dari keluarnya
Rahmatulloh selaku ketua PK golkar kecamatan purwakarta, yang juga menjabat
sebagai anggota DPRD. Hengkangnya Rahmat ini menimbulkan banyak spekulasi, baik
itu dari kalangan pemerhati politik atau pun dari kalangan akademisi. Spekulasi
terbesar ialah bahwasanya ada kekeroposan di tubuh golkar, khususnya diwilayah
Cilegon, sehingga kader yang potensi konstituennya cukup besar seperti
Rahmatulloh memilih keluar dan masuk dalam partai yang lain. Hal ini juga
dikuatkan dengan keluarnya dua kader lainnya seperti Musthofa dan Sukmayada. Ini
semakin memperkuat, bahwa dalam tubuh golkar ada semacam sembilu yang menyakiti
para kadernya.
Dalam harian Banten
Post edisi 13/05, wakil sekertaris DPD II partai Golkar M Nasir seolah
menertawakan alasan Musthofa keluar dari partai, yakni karena tidak diberikan
proyek. Namun, jika kita mau menelaah statement Nasir kepada Musthofa tersebut
dalam kajian semiotika bahasa, ini merupakan suatu symbol. Artinya, Nasir
mencoba menutup-nutupi apa yang sebetulnya terjadi dalam tubuh partai. Boleh
jadi alasan Musthofa itu adalah gambaran umum kinerja partai yang sesunguhnya.
Bahwasanya orang bergabung dengan partai politik, mindsetnya bukan lagi ingin
berpartisipasi untuk perubahan bangsa agar lebih baik, tapi saling kejar
mengejar proyek untuk kepentingannya pribadi. Baik itu proyek jasa, atau proyek
untuk mendapatkan jabatan tertentu.
Kalau kita mau menengok
sejarah, sebutlah pada era Soekarno dan kawan-kawan. Militansi kader terhadap
partainya sangatlah tinggi. Mereka sangat menjunjung tinggi kesatuan dan
kesolidan pergerakan partai. Sebab mereka satu jiwa dan satu misi yaitu untuk
membuat Indonesia jauh lebih baik. Tidak terselip kepentingan untuk medapatkan
tender atau untuk diangkat menjadi pemegang jabatan tertentu. Kalau pun ada konflik, persis konflik itu
hanyalah masalah perbedaan cara atau sudut pandang dalam memulai suatu
pergerakan.
Namun, jika mindsetnya
sudah seperti kader-kader golkar diatas, maka ketika kepentingan pribadinya
sudah tidak lagi mampu di penuhi oleh partai, atau partai lebih memihak kepada
kader yang lain, maka pilihan untuk ‘cabut’ dari partai bukanlah persoalan yang
berat.
Jelaslah sudah, bahwa
sembilu yang menyakiti kader golkar itu adalah tidak terpenuhinya sebuah
kepentingan. Musthofa yang backgroundnya sebagai pengusaha tentu kepentingannya
adalah proyek. Sebagaimana kebanyakan kader golkar lainnya juga memiliki
background yang sama dengan Musthofa.
M Nasir bisa berkata
demikian –seolah dirinya benar- karena mungkin saja kepentingan pribadinya
dalam tubuh golkar masih terpenuhi. Saya tidak yakin jika apa yang menjadi
kepentingan Nasir tidak lagi terpenuhi dia tidak akan mengambil tindakan
seperti Musthofa atau yang lainnya.
Inilah realita
perpolitikan di Indonesia. Partai politik yang seharusnya menjadi tempat
peracikan formula untuk kebaikan Negara, kini telah berubah serupa badan usaha
atau badan penyalur kepentingan.
Tidak ada kawan atau
musuh sejati dalam politik, begitu kiranya ajaran Nicolo Macheavelli yang
sesungguhnya telah melukai cita-cita politik Aristoteles, sang pelopor istilah
politik. Tidak ada yang salah dalam politik, namun orang-orang yang menyalah-artikanlah
yang salah. Tidak ada yang salah dengan partai Golkar, tapi oknum-oknum yang
menyalahgunakanlah yang salah.
Penulis adalah pengurus
balai belajar Rumah Baca Damar26 Cilegon, Purwakarta.
Bendahara Umum FLP
Cilegon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar