Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih
kembali menjadi ketua umum partai demokrat, kredibilitasnya untuk mengurusi
Negara semakin diragukan. Mampukah SBY focus mengurusi Negara dan partainya,
ataukah tidak. Disisi yang lain, masyarakat sudah semakin yakin bahwa selama
ini SBY lebih mementingkan partainya ketimbang mengurusi Negara yang semakin
carut marut.
Kini SBY telah beristri dua –atau bahkan lebih-.
Layaknya seseorang yang berpoligami, ia dituntut untuk mampu berlaku adil
kepada kedua istrinya, Indonesia dan Demokrat. Namun, seperti yang dikatakan
Habiburrahman dalam novel fenomenalnya Ayat-ayat Cinta, satu istri saja belum
tentu adil, apa lagi dua.
Sialnya, fenomena poligami jabatan ini juga
dilakukan oleh para dosen, khususnya dosen dikampus saya. Entah itu jabatan di
internal kampus sendiri atau pun jabatan yang lainnya diluar sana. Saya selaku
mahasiswanya yang entah dijadikan isrti keberapa, tidak peduli dengan banyaknya
istri yang dimiliki dosen saya tersebut. Yang terpenting adalah, hak saya
sebagai mahasiswanya tidak boleh direduksi sedikitpun.
Antara
Hak dan Kewajiban
Islam memang membolehkan poligami, akan tetapi
dengan syarat yang tidak mudah. Syarat yang paling berat menurut saya ialah mampu
berlaku adil. Adil, bisa kita artikan sebagai pekerjaan yang mampu memposisikan
antara hak dan kewajiban.
Saya pribadi selaku mahasiswa tidak menentang bagi dosen yang mempunyai jabatan
atau pekerjaan lain, mungkin saja memang subsidi dari pemerintah untuk para
tenaga pengajar termasuk dosen tidaklah cukup. Namun kiranya, dosen pun harus
sadar akan kewajibannya sebagai tenaga pengajar yang kehadirannya dikelas
sangat menentukan untuk perkembangan wawasan mahasiswa.
Saya pribadi sering menjadi korban dosen beristri
dua seperti diatas, ketika sedang asik-asiknya berdiskusi tiba-tiba saja ponsel
si dosen berbunyi, kemudian setelah itu dia seenaknya pergi dengan alasan sudah
ditunggu rapat. Itu sering. Yang paling parah, ada juga dosen yang jarang
sekali masuk, ketika dia mau masuk malah merubah jam seenaknya. Saya dan
teman-teman yang lain yang tidak mungkin bisa masuk pada jam yang ia
tentukan—karena juga punya istri lain—nilainya tidak dikeluarkan. Ini tidak
adil.
Dalam hal ini, dosen seharusnya mampu bersikap tegas
dan adil. Jika memang pekerjaannya sebagai dosen tidak mampu dijalaninya dengan
baik, tersebab kerjaan yang lainnya, ia harus rela melepas jabatannya sebagai
dosen. Jangan sampai mengorbankan mahasiswanya. Kita selaku mahasiswa, berhak
mendapatakan pengajaran yang baik dari para dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar