Sering sekali bangsa kita disebut-sebut sebagai bangsa yang
multi-krisis, karena berbagai ketimpangan yang terjadi didalamnya, baik itu
dari segi budaya, sosial terlebih lagi ekonomi. Sehingga harus segera dicari obatnya.
jika tidak,
harapan untuk keluar dari multikrisis hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Hemat penulis, salah satu penyebab multi krisis di Indonesia dikarenakan dampak
krisis kepemimpinan (crisis leadership) itu sendiri, yang menjadi titik hitam
sejarah perjalanannya.
Memang tak bisa
dielakkan, absennya pemimpin yang nasionalis dan relegius merupakan malapetaka
besar bagi bangsa ini. Nasionalisme
Religius adalah sintesis Nasionalis ‘neutural agama’ dengan Islam. Nasionalisme
Indonesia yang dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa. Pemimpin Nasionalis
yang ber-ketuhanan adalah solusi yang tepat untuk krisis kepemimpinan saat ini.
Relegius berarti, ia taat terhadap norma-norma agama. Nilai-nilai
keberagamaan ia jadikan api semangat dalam ber-negara. Seperti yang dikatakan
Fazlur Rahman, Negara adalah alat untuk agama. Maka untuk menekankan keadilan
dan memelihara perdamaian dan ketertiban, harus adanya keseimbangan antara
nilai-nilai nasionalis dan keagamaan.
Maka apabila api semangat Nasionalis relegius telah menyatu pada
raga seorang pemimpin, tidak menutup kemungkinan jalan hidup (way of life) baru
akan terbuka. Para pemimpin bekerja sesuai dengan poksinya. Sifat nasionalis
relegius adalah sifat pemimpin masa depan. Ia tidak memimpin suatu bangsa
dengan hawa nafsunya akan tetapi mempin dengan cinta kasih kepada tanah airnya.
Sebetulnya, di Indonesia sendiri bukan tidak ada corak pemimpin
yang memiliki nilai-nilai Nasionalis Religius. Kita tahu bahwa mayoritas penduduk
Indonesia pemeluk agama islam. Dan tidak sedikit pula dari jutaan umat islam di
Indonesia yang memiliki karakter lidership yang Qur’ani. Namun permasalahannya
kemudian, mampukah manusia-manusia
berkarakter pemimpin qur’ani tersebut menembus sistem perpolitikan Indonesia
dan menduduki kursi kekuasaan Negara?
Menjaring pemimpin berkarakter qur’ani
Salah satu agenda besar bangsa Indonesia adalah pesta demokrasi
Pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali. Jutaan rakyat Indonesia terlibat
langsung dalam menentukan nasib bangsa. Semua orang yang sudah memiliki
persyaratan memilih, berduyun-duyun menuju TPS untuk memilih pemimpinnya,
terlepas dia mengenal atau tidak siapa orang yang dia pilih itu.
Semenjak lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang mengatur
tentang pemilihan eksekutif secara langsung oleh rakyat, banyak yang
berpendapat bahwa ini lebih demokratis. Rakyat lebih berdaulat dan presiden
terpilih akan mendapatkan legitimasi politik yang besar dari rakyat. Namun
sayang, untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat tersebut para calon eksekutif
negara itu menempuh jalan politik yang kurang baik. Mereka berkampanye dengan
menebar ribuan pamplet dan benner di seluruh peloksok Indonesia,
membagi-bagikan kaos, membagi-bagikan uang (money politic), atau yang lebih
gandrung sekarang ialah membuat filem-filem pendek pencitraan baik dari para
calon pemimpin tersebut. Sehingga biaya untuk menjadi pemimpin terkesan sangat
mahal.
Untuk menanggulangi biaya kompanye yang sedemikan mahal, para calon
akan melakukan apa pun untuk mendapatkan bantuan dana. Termasuk mengadakan
perjanjian-perjanjian gelap dengan para investor asing. Misalnya, jika ia
menang menjadi pemimpin terpilih, maka ia akan mempermudah perijinan bagi
investor asing itu untuk penambangan pasir, emas, minyak bumi dan lain-lain.
Kasarnya, para calon pemimpin itu menjual tanah airnya sendiri.
Sialnya, sampai detik ini cara yang demikian relative berhsil.
Karena banyak dari rakyat Indonesia belum mampuh membaca karakter dari calon
pemimpinnya tersebut. Mereka hanya mampu meraba-raba melalui performen,
retorika, atau apa saja yang sudah diberikan kepada mereka. Mereka tidak mampuh
membaca niat terselubung dari calon pemimpinnya itu. Mereka tidak sadar, satu
suara yang mereka berikan sangat menentukan kemajuan dari bangsanya. Akibatnya,
bangsa kita semakin hari semakin terpuruk.
Sistem pemilu yang seperti ini sesungguhnya telah menutup keran
guna terjaringnya seorang pemimpin yang memiliki sifat nasionalis religious.
Seseorang yang sudah tertanam dalam dirinya sebuah nilai religius, tidak akan
melakukan tindakan-tindakan kotor. Maka dari itu, jika sistemnya tidak dirubah,
maka keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan nasionalis religious, hanya
isapan jempol belaka.
Mengingkari
sila ke-4
Pemilihan
pemimpin eksekutif Negara dengan cara langsung seperti ini, sesungguhnya sudah
mengingkari makna pancasila terutama sila ke empat. Disana secara eksplisit
dikatakan, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, dalam
permusyawaratan/perwakilan.” Dengan demikian, seyogyanya pemilihan para
pemangku tinggi Negara itu harus dikembalikan pada forum musyawarah yang dalam
hal ini adalah dewan perwakilan rakyat (DPR).
Pada dasarnya, untuk menjaring
pemimpin yang berkarakter qur’ani yang akan menjalankan kepemimpinan nasionalis
religious, terlebih dahulu kita harus membenahi sistem pemilihannya. Sebab cara
pemilu yang berkembang semenjak tahun 2004 nyatanya menjadi episentrum
kegagalan pemimpin kita. Selain itu, kita juga harus memperketat peraturan
dalam berkampanye, seperti mengatur anggaran biaya kampanye dan atau hal-hal
lain yang dapat memicu ketidak adilan.
Terakhir, penting rasanya untuk
terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, salah satunya dengan
terus meningkatkan budaya literasi. jangan hanya menyuarakan pembangunan secara
infrastruktur saja, namun suprastruktur juga harus terus di bangun.
Bima S, pengurus
Rumah Baca Damar26 Cilegon, purwakarta
Hamidi, Simpatisan
Rumah Baca Damar26.
thank you very much for the information you provide
BalasHapusUmpan Ikan Patin Alami