“…Semboyan kita
tetap, “Merdeka atau mati.” Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya
pastilah kemenangan akan jatuh kepada kita. Sebab Allah akan berpihak kepada
jalan yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita
sekalian.
Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Merdeka!” (Pidato
Bung Tomo)
Cuplikan pidato Bung Tomo diatas,
mengisaratkan keberanian dan rasa optimisme tinggi untuk berperang melawan
tentara sekutu dan NICA yang kembali mendaratkan kakinya untuk menjajah
Indonesia pada tanggal 29 September 1945 selepas Proklamasi kemerdekaan
dibacakan. Mendengar pidato Bung Tomo tersebut, rakyat Indonesia semakin
bergelora jiwanya untuk membasmi segala bentuk penjajahan di Bumi Pertiwi.
Resolusi Jihad
Nahdatul Ulama
Sebelum Bung Tomo menyuarakan
Pidatonya, sesungguhnya Rakyat Indonesia –yang mayoritas beragama islam--
Hatinya sudah terpanggil untuk berperang melawan Sekutu dan NICA, atas dasar
Resolusi Jihad Nahdatul Ulama. Ketika Sekutu dan NICA datang ke berbagai daerah
di Indonesia untuk kembali menjajah, pemerintah Republik Indonesia tidak
melakukan tindakan atau perlawanan yang nyata. Maka, perhimpunan Nahdatul Ulama
seluruh Jawa dan Madura mengadakan rapat besar pada tanggal 21-22 Oktober 1945
untuk mengajukan Resolusi Jihad kepada Pemerintah Indonesia. Mereka menyatakan
bahwa setiap bentuk penjajahan adalah suatu kezaliman yang melanggar prikemanusiaan
dan nyata-nyata diharamkan oleh agama Islam.
Setelah adanya Resolusi Jihad dari Nahdatul
Ulama itu, sekitar 60 juta rakyat Indonesia siap berjihad membela agama dan
bangsa Indonesia.
Ditambah dengan pidato-pidato heroik
dari Bung Tomo, apalagi setiap akhir pidatonya, Bung Tomo selalu mengucapkan
takbir. Jelas semakin membuat mujahid-mujahid muslim semakin bergelora.
Kemenangan
Indonesia
Kegigihan rakyat Indonesia yang
mempertahankan kemerdekaan, menimbulkan pecahnya pertempuran antara tentara
sekutu dan NICA dengan rakyat Indonesia pada tanggal 10 November 1945 --oleh
karena itulah hari pahlawan di peringati pada tanggal tersebut. Tentara sekutu
dan NICA yang notabene pemenang dari Perang Dunia II (1939-1945) serta Perang
Asia Timur Raya (1941-1945) yang tentunya mempunyai persenjataan yang amat
lengkap, tidak membuat rakyat Indonesia gentar meski hanya mempunyai beberapa
pucuk senjata hasil rampasan dari jepang, selebihnya menggunakan bambu runcing.
Amat membanggakan sekali, semangat
mempertahankan tanah air yang didorong oleh sepirit religiusitas (Syahid)
membuat bangsa Indonesia memenangkan peperangan terebut. Prestasi yang luar
biasa, jika pada saat perang Dunia II sekutu dan NICA tidak pernah kehilangan
panglima besarnya, maka pada saat melawan tentara Indonesia, sekutu dan NICA
kehilangan jendral besar mereka yang bernama Brigadir Jendral Mallaby. Mereka
(tentara sekutu dan NICA) pun akhirnya lari tunggang langgang meninggalkan
Negeri Indonesia.
Ini patutnya kita jadikan pelajaran
berharga, khususnya untuk generasi muda penerus bangsa. Dulu, bangsa kita tidak
bisa dianggap remeh. Tidak bisa disembarangkan oleh bangsa lain. Negara kita
punya karisma yang lebih. Namun, apakah karisma itu masih bertahan sampai
sekarang? Saya yakin pembaca mempunyai penilaian masing-masing.
Susahnya Jadi
Pahlawan
Kini, secara dhohir Negara
kita memang telah merdeka, Tidak ada lagi imperealisme yang terjadi di bangsa
ini, semua orang yang dianggap mempunyai peran besar dalam proses kemerdekaan
diberi gelar pahlawan. Lantas masih bisakah kita menjadi pahlawan?
Sejatinya, pahalawan adalah orang
yang berani dan mau mengorbankan dirinya demi menegakkan kebenaran. Orang-orang
yang memiliki sikap patriotisme dan berjiwa kesatria. Maka dari itu, di tengah
keadaan bangsa yang carut-marut ini, di tengah bangsa yang sedang terpuruk
karena korupsi, di tengah bangsa yang selalu terjadi ketimpangan sosial ini,
sesungguhnya kita juga bisa menjadi pahlawan. Dengan melakukan hal apapun yang
bisa kita lakukan demi bangkitnya kembali Indonesia. Contoh kecilnya seperti
yang dilakukan oleh Dahlan Iskan, iya mendobrak dan membongkar kepongahan
anggota DPR yang menjadi “Calo” atas perusahaan-perusahaan BUMN. Hal yang
semacam ini patut kita acungi jempol dan patut juga diberi gelar pahlawan. Dahlan
dengan gagah berani membuka hal kotor yang selama ini disembunyikan.
Namun sayang, untuk melakukan hal
tersebut tidaklah mudah. Mungkin sama sulitnya dengan perjuangan pahlawan jaman
dulu. Butuh tekad dan keteguhan hati yang mantap. Oleh karena itu, kita
sepatutnya kembali kepada kebebasan kita selaku manusia. Tidak seharusnya kita
takut kepada sesuatu yang salah, kebenaran memanglah harus ditegakkan.
Pada akhirnya, penulis ingin
mengajak, marilah bersama-sama menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Membenarkan yang benar, mensalahkan yang salah. Membantu yang berhak dibantu,
menolong yang sepatutnya harus ditolong. Jadilah pahlawan minimal di lingkungan
kita masing-masing. Merdeka!
Bima S. Penulis adalah
pendiri komunitas baca Damar26
Pecinta segala
jenis buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar