Pemuda Banten
Meninggalkan jejak untuk masa depan
Kamis, 19 Desember 2013
KETIKA HARI MENDADAK KELABU
(Kepada adikku Sintia dan Anistia)
Sebelum waktu menyulitkan kita
sekedar bertemu dan bersipandang
Atau memakan mie instan di warung pojok
belakang rumah
Sebelum kau bergegas meninggalkan
kesempatan dan rencana yang menggantung
dalam pembicaraan
Ijinkan aku menitipkan pesan yang
lahir dari rahim kegellisahan panjang
Dari batin abangmu yang sakit;
Dik, abang ingin kau hentikan rengekanmu
Pastikan air mata yang turun dari sudut matamu kemarin sore
adalah air mata terakhir untuk melepas masa bocahmu
Dik, semakin hari dunia menjadi riuh gaduh
Tak jelas kemana lagi manusia berpijak
Seakan selesai dengan perbincangan tentang meja makan
dan ranjang
Maka suaramu harus berbeda, dik
Kau harus mulai angkat bicara tentang buruhburuh
yang dihantam batinnnya saban hari
atau tentang kampung kita yang dikepung kegelisahan jaman
bicaralah tentang itu
dengan puisi atau dengan apa pun yang kau bisa
dik, kelak abang tak ingin melihatmu
menjadi bagian yang tak terhitung
maka mulai dari hari ini;
keraskanlah hidupmu.
Dik, tubuh kita akan berai
namun suara kita harus tetap menggumpal
mengancam ketidak adilan
ingatlah ini
Dari abangmu, yang gelisah.
Cilegon, 2013
Sebelum waktu menyulitkan kita
sekedar bertemu dan bersipandang
Atau memakan mie instan di warung pojok
belakang rumah
Sebelum kau bergegas meninggalkan
kesempatan dan rencana yang menggantung
dalam pembicaraan
Ijinkan aku menitipkan pesan yang
lahir dari rahim kegellisahan panjang
Dari batin abangmu yang sakit;
Dik, abang ingin kau hentikan rengekanmu
Pastikan air mata yang turun dari sudut matamu kemarin sore
adalah air mata terakhir untuk melepas masa bocahmu
Dik, semakin hari dunia menjadi riuh gaduh
Tak jelas kemana lagi manusia berpijak
Seakan selesai dengan perbincangan tentang meja makan
dan ranjang
Maka suaramu harus berbeda, dik
Kau harus mulai angkat bicara tentang buruhburuh
yang dihantam batinnnya saban hari
atau tentang kampung kita yang dikepung kegelisahan jaman
bicaralah tentang itu
dengan puisi atau dengan apa pun yang kau bisa
dik, kelak abang tak ingin melihatmu
menjadi bagian yang tak terhitung
maka mulai dari hari ini;
keraskanlah hidupmu.
Dik, tubuh kita akan berai
namun suara kita harus tetap menggumpal
mengancam ketidak adilan
ingatlah ini
Dari abangmu, yang gelisah.
Cilegon, 2013
Jumat, 07 Juni 2013
Rumah Baca Damar26 Memilih ‘Mandiri’
Rumah Baca Damar26 ketika masih di rumah pribadi Ayatulloh Marsai |
Sekitar satu tahun yang lalu, saya, Ayatulloh Marsai
(pak Ayat), beserta kawan-kawan yang lain menggagas sebuah rumah baca yang kami
beri nama ‘Rumah Baca Damar26’. Sebetulnya keinginan itu sudah lama mengendap
dalam kepala pak Ayat, bahkan lama sekali semenjak ia lulus kuliah dari IAIN
Sunan Gunung Jati –sekarang UIN—Bandung sekitar 13 tahun silam. Karena beliau
belum juga menemukan kawan-kawan yang satu misi, maka keinginan itu pun sempat
terkubur.
Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 2012, secara primordial
kami nyatakan bahwa rumah Baca kami telah berdiri. Awalnya kami menggunakan
rumah pribadi pak Ayat sebagai skretariatan, berikut juga dengan koleksi
buku-buku milik beliau. Rumah pak ayat terhitung kurang strategis untuk sebuah
tempat membaca, sehingga tidak banyak orang-orang yang datang untuk membaca
atau meminjam buku. Atas dasar itulah, kami memutuskan untuk mencari tempat
yang baru. Alhamdulillah, tidak membutuhkan waktu yang lama pak Ayat sudah
menemukan tempat yang strategis, tepatnya di lingkungan Pasar Bunder kecamatan
purwakarta. Dengan harga sewa yang juga sangat strategis. Pak ayat pun langsung
menyewa tempat tersebut selama 5 tahun dengan harga 12.000.000,-. Dan biaya itu
murni dari kantong pribadi pak Ayat. Yah, itu uang pribadi beliau.
Mengapa
Rumah Baca?
Kebetulan, saya dan kawan-kawan yang ikut serta
mendirikan Rumah Baca ini adalah murid-murid pak Ayat. Beliau berhasil menanamkan
cinta baca kepada kami ketika kami duduk di bangku SLTA. Kecintaan itu terus
berlanjut hingga kami duduk di bangku kuliah. Sehingga, kami bisa merasakan
kehawatiran yang sama dengan apa yang di hawatirkan pak Ayat. Yakni, rendahnya
minat baca masyarakat juga rendahnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan
sumber daya manusia.
Damar26 ditempat yang baru. link. pasar bunder |
Memang, bukannya tidak ada rumah baca atau taman
baca disekitar lingkungan kami. Hanya saja, kami menilai taman baca tersebut
tidak memberikan perhatian lebih kepada masyarakat. Motifasi terbentuknya juga
kami kira tidak lebih hanya sekedar penebus dosa atas program-program
pemerintah. Sedangkan swadaya untuk masyarakat sangatlah kurang. Biasanya
mereka hanya mengadakan kegiatan ketika ada blok green (dana segar) dari
pemerintah. Miris.
Konvensional
atau mandiri?
Setelah beberapa bulan berjalan. Kami mulai merasa
kebingungan tentang bagaimana arah rumah baca kami selanjutnya. Saya pribadi
pernah didatangi oleh salah satu pegawai pemerintahan daerah. Dia mengingatkan saya
agar tidak usahlah membuat rumah baca baru. Kemudian dia meminta saya untuk
mengurusi Taman Baca Masyarakatnya (TBM) yang berada pada naungan Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). TBM model begini adalah TBM konvensional.
Artinya, semua yang dijalankannya harus sesuai dengan aturan pemerintah,
mendapat subsidi dari pemerintah, dan semua-mua terkait dengan pemerintah tak
ketinggalan pula wajib dan kudu pro pemerintahan.
foto bersama: relawan rumah baca Damar26 |
Petunjuk terang kemudian datang dari buku Gempa
Literas karya Gol A Gong dan Agus M Irkham. Dalam salah satu tulisannya
mengenai TBM, Gol A Gong menawarkan dua madzhab mengenai TBM. Yaitu madzhab
konvensional dan madzhab mandiri. Mas Gong menjelaskan, bahwa TBM bermadzhab
konvensional harus menempuh aturan-aturan yang telah ditetapkan pemerintah.
Kelebihannya, selain terlegalkan, juga akan mendapat bantuan berupa dana-dana
dari pemerintah. Namun, kita tidak akan bebas mengkritisi jika terjadi
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan, idelanya TBM
ialah menjadi basis pergerakan sosial, apa pun itu bentuknya.
Lain halnya dengan TBM bermadzhab mandiri. Meski
dengan buku seadanya, fasilitas seadanya, tidak ada subsidi apa pun darri
pemerintah, namun justru itu yang akan membuat kita terbebas dari
belenggu-belenggu yang membuat kita tidak bebas melakukan revolusi sosial.
Saya selalu ingat apa yang dikatakan pak Ayat selaku
presiden rumah baca kami, bahwasnya rumah baca kita ini adalah dapur yang akan mengolah para pemuda khususnya,
agar menjadi pemuda yang mampu membuat perubahan, agar mampu membangkitkan
bangsa kita yang semakin hari semakin terseok-seok.
Maka, kami sepakat bahwa rumah baca kami, Rumah Baca
Damar26, akan memilih madzhab mandiri.
Penulis
adalah relawan rumah baca Damar26
Sabtu, 01 Juni 2013
Damar26, Membangun Dunia Literasi
Ditemani
kopi, buku, dan koran-koran yang berserakan, sekelompok orang yang mengaku tergabung
dalam Komunitas Gemar Membaca Damar26 ini, terlihat sedang asik berdiskusi.
Beberapa orang terlihat sedang mengkliping koran-koran harian. Meskipun hari
sudah semakin sore, namun wajah-wajah mereka terlihat masih cerah dan
bersemangat.
Berawal
dari rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, Ayatulloh Marsai dan kawan-kawan, bertekad
untuk membuat sebuah komunitas yang mempunyai giroh untuk membudayakan dunia
literasi.
“Mulanya
hoby, dan rasa cinta terhadap membaca, kemudian merasa mubadzir dengan
buku-buku yang hanya numpuk di kardus-kardus dan lemari, maka saya berinisiatif
untuk membentuk rumah baca atau sejenisnya, paling tidak supaya buku-buku
dirumah saya ada yang memanfaatkan,” ucap Ayatulloh Marsai, selaku penggagas
lahirnya komunitas ini.
Meskipun
namanya komunitas membaca, namun pada prakteknya Damar26 tidak hanya sekedar
baca-baca saja. Lebih dari itu, Damar26 mempunyai agenda-agenda yang berkaitan
dengan dunia literasi, seperi menulis dan berdiskusi. Setiap sabtu sore, mereka
ngumpul untuk saling berbagi informasi, membahas isu-isu hangat di media masa,
dan kemudian berlomba menuliskan opini untuk dimuat di media cetak.
Komunitas
yang bertempat di linkungan Dukumalang, kecamatan purwakarta ini, sangat
terbuka kepada siapapun yang ingin bergabung dan menjadi anggota, “Damar 26 tidak menutup diri, siapa pun boleh bergabung
dan belajar bersama-sama, baik itu pelajar, mahasiswa, karyawan, atau yang
lainya,” lanjut Ayatulloh.
“Alasan saya mengikuti komunitas ini ialah,
paling tidak saya bisa menjaga semangat belajar saya, apalagi saya sekarang
sudah tidak lagi belajar dilembaga formal, inisiatifnya, yah saya ngumpul
bareng orang-orang yang maniak belajar ini,” ujar Maman, salah satu pendiri
komunitas ini.
Kedepan,
Damar26 berharap agar lebih banyak lagi orang yang mau bergabung dan belajar
bersama.
Dosen Rangkap Jabatan
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih
kembali menjadi ketua umum partai demokrat, kredibilitasnya untuk mengurusi
Negara semakin diragukan. Mampukah SBY focus mengurusi Negara dan partainya,
ataukah tidak. Disisi yang lain, masyarakat sudah semakin yakin bahwa selama
ini SBY lebih mementingkan partainya ketimbang mengurusi Negara yang semakin
carut marut.
Kini SBY telah beristri dua –atau bahkan lebih-.
Layaknya seseorang yang berpoligami, ia dituntut untuk mampu berlaku adil
kepada kedua istrinya, Indonesia dan Demokrat. Namun, seperti yang dikatakan
Habiburrahman dalam novel fenomenalnya Ayat-ayat Cinta, satu istri saja belum
tentu adil, apa lagi dua.
Sialnya, fenomena poligami jabatan ini juga
dilakukan oleh para dosen, khususnya dosen dikampus saya. Entah itu jabatan di
internal kampus sendiri atau pun jabatan yang lainnya diluar sana. Saya selaku
mahasiswanya yang entah dijadikan isrti keberapa, tidak peduli dengan banyaknya
istri yang dimiliki dosen saya tersebut. Yang terpenting adalah, hak saya
sebagai mahasiswanya tidak boleh direduksi sedikitpun.
Antara
Hak dan Kewajiban
Islam memang membolehkan poligami, akan tetapi
dengan syarat yang tidak mudah. Syarat yang paling berat menurut saya ialah mampu
berlaku adil. Adil, bisa kita artikan sebagai pekerjaan yang mampu memposisikan
antara hak dan kewajiban.
Saya pribadi selaku mahasiswa tidak menentang bagi dosen yang mempunyai jabatan
atau pekerjaan lain, mungkin saja memang subsidi dari pemerintah untuk para
tenaga pengajar termasuk dosen tidaklah cukup. Namun kiranya, dosen pun harus
sadar akan kewajibannya sebagai tenaga pengajar yang kehadirannya dikelas
sangat menentukan untuk perkembangan wawasan mahasiswa.
Saya pribadi sering menjadi korban dosen beristri
dua seperti diatas, ketika sedang asik-asiknya berdiskusi tiba-tiba saja ponsel
si dosen berbunyi, kemudian setelah itu dia seenaknya pergi dengan alasan sudah
ditunggu rapat. Itu sering. Yang paling parah, ada juga dosen yang jarang
sekali masuk, ketika dia mau masuk malah merubah jam seenaknya. Saya dan
teman-teman yang lain yang tidak mungkin bisa masuk pada jam yang ia
tentukan—karena juga punya istri lain—nilainya tidak dikeluarkan. Ini tidak
adil.
Dalam hal ini, dosen seharusnya mampu bersikap tegas
dan adil. Jika memang pekerjaannya sebagai dosen tidak mampu dijalaninya dengan
baik, tersebab kerjaan yang lainnya, ia harus rela melepas jabatannya sebagai
dosen. Jangan sampai mengorbankan mahasiswanya. Kita selaku mahasiswa, berhak
mendapatakan pengajaran yang baik dari para dosen.
Dalam Dekapan Ukhwah: ‘Membangun Cinta Dengan Iman’
Saya teringat bagaimana pertama kali saya mengenal
Ustadz Salim A. Fillah. Ketika itu ada acara bedah buku di kampus. Konon buku
yang dibedah adalah buku Salim A. Fillah. Kawan-kawan satu organisasi
sepertinya sangat mengenal nama itu, sedangkan saya yang mengaku pecinta buku
malah merasa sangat asing dengan nama tersebut.
Saya pun hadir dalam acara bedah buku itu. Suasana
begitu ramai, aula kampus yang terhitung sangat luas hampir penuh terisi orang.
Didepan, sang penulis sendiri sudah hadir, berikut dengan pembedahnya, Langlang
Randawa. Keduanya masih muda.
Acara pun dimulai. Sebagai pembuka, ustadz Salim mengajukan
sebuah pertanyaan kepada audien. Namun, tak satu pun dari audien yang berani
menjawab, entah apa alasannya. Iseng saja, saya acungkan tangan dan
memberanikan diri menjawabnya. Saya tahu jawaban saya itu ngawur, dan jauh dari
kata benar. Akan tetapi, ternya saya dipanggil oleh ustadz Salim untuk maju ke
depan. Kemudian ia memberikan bukunya yang terbaru ‘Dalam DekapanUkhwah’
beserta tanda tangannya. Saya tidak mengira, bahwa buku itu akan menjadi buku
yang menempati daftar nomor satu dalam buku yang saya suka.
Seperti
Makan Gado-gado
Meminjam istilahnya Hernowo bahwasanya ada buku yang
bergiji dan ada pula buku yang tidak bergiji. Bagi saya, buku yang bergiji itu
ialah manakala kita merasa sangat kenyang—dalam arti kita merasa enak dan
banyak pengetahuan baru—setelah kita membacanya. Begitulah yang saya rasakan
ketika membca buku ustadz Salim. Baru membaca dua sampai tiga halaman saja, saya merasa sangat
ketagihan, dan ingin terus membacanya sampai akhir, sehingga hampir tiga kali
saya menamatkan bukunya.
Gaya betuturnya yang halus dan unik saya kira membuat
siapa pun akan dibuat jatuh cinta dalam gaya tulisannya. Saya katakan unik,
karena dia mempunyai gaya khusus untuk menyampaikan ide atau gagasannya.
Sebagai seorang ustadz, dia mempunyai trik untuk menyampaikan ajaran-ajaran
islam agar bisa diterima oleh setiap orang. Biasanya dia berbicara sejarah,
filsafat, hukum kemudian secara tepat dikaitkan dengan ajaran-ajaran islam yang
bersumber dari Al-qur’an dan sunah. Inlah yang membuat saya kagum dengan
beliau, dia tidak pernah menutup diri untuk membaca buku atau belajar mengenai
apa pun. Pada akhirnya, semakin banyak kita belajar maka kita akan semakin
bijaksana menyikapi sebuah permasalahan. Begitu kira-kira pandangannya.
Membangun
Cinta Dengan Iman
Dalam bukunya yang berjudul “Dalam Dekapan Ukhwah” ustadz Salim mencoba menguraikan tentang
pentingnya iman dalam menjalin suatu hubungan dengan siapapun. Karena dengan
imanlah seseorang mampu mengambil cinta dan kasih dari tuhan untuk ditebarkan
kepada manusia yang lain. Dengan begitu, kita tidak akan merasa terluka walau
bagaimanapun sikap sahabat kita terhadap kita. Karena cinta dan kasih tuhan
sangatlah tulus dan tidak terbatas.
“Muslim
yang satu adalah cermin bagi muslim yang lainnya” begitu
kiranya ucap nabi besar kita. Seakan mengisyaratkan, bahwa setiap muslim di
dunia ini harus saling mengikatkan diri dalam tali persaudaraan. Saat kita
bercermin, ketika kita melihat keburukan pada diri kita, maka kita tahu yang
harus kita benahi bukanlah bayang-bayang dalam cermin, atau bahkan kita
menghancurkan cerminnya. Namun yang harus kita benahi tentulah diri kita
sendiri. Kebanyakan dari kita, ketika kita merasa tidak nyaman berhubungan
dengan orang lain, maka kita habis-habisan mengkritisi orang tersebut dengan
segala keburukannya. Padahal siapa yang tahu bahwa keburukan itu sebetulnya ada
pada diri kita. Ustadz Salim mencoba mengingatkan kita untuk terus
mengintropeksi diri, terus dan terus.
Dalam sebuah hadits yang di riwayatkan oleh imam Abu
Dawud, Rosululloh SAW. Pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba
Allah terdapat orang-orang yang bukan nabi, dan bukan pula syuhada. Tapi bahkan
para nabi dan syuhada cemburu pada mereka dihari kiamat nanti, tersebab
kedudukan yang diberikan oleh Allah pada mereka. Mereka itu adalah segolongan
manusia yang saling mencintai karena rahmat Allah. Bukan karena sebab
kekerabatan dan darah. Bukan pula di dasarkan pemberian harta. Demi Allah, wajah
mereka pada hari itu bersinar cemerlang dan mereka berada diatas cahaya. Mereka
tidak merasa khawatir ketika manusia lain ketakutan, dan mereka tidak bersedih
ketika manusia lain berduka.”
Membaca buku ini kita dapat belajar banyak dari
orang-orang yang diakrabkan hatinya oleh Allah atas dasar keimanan yang mereka
miliki. Sebutlah persahabtan antara Zaid bin Tsabit dengan Ibnu Abbas. Meski
sangat berbeda pandangan tentang masalah waris, namun ketika bertemu, keduanya
begitu mesra, saling memuji dan lain sebagainya.
Atau persahabatn antara Ali bin Abu Thalib dengan
Talhah. Meski sejarah menggambarkan betapa mereka sangat bertentangan saat
perang Jamal. Namun Ustadz Salim menepis itu semua, dia mengatakan bahwa
sebetulnya Talhah telah mengunjungi Ali. Dengan rasa kasih dan sayang antara
keduanya, mereka menyepakati untuk menghentikan perang. Namun ketika Talhah
keluar dari rumah Ali, ia dibunuh oleh seseorang yang tidak senang dengan
perdamaian mereka.
Oleh karenanya, ketika hubungan kita dengan
seseorang sedang buruk. Atau ketika semua orang seakan menjauh dari kita,
periksalah diri kita sendiri. Siapa tahu iman kita sedang compang-camping,
sehingga segala perbuatan yang kita lakukan terkesan tidak membuat nyaman orang
lain.
Islam adalah agama yang sangat mengedepankan cinta
kasih antar sesama. “tidak dikatakan
beriman seseorang, manakala dia belum bisa mencintai saudaranya (muslim)
seperti ia mencintai dirinya sendiri” Begitulah kiranya ajaran rosul kita.
Memabaca tulisan-tulisan Salim A Filah, kita tidak
hanya mendapat petuah-petuah mutiara yang menenangkan. Melainkan juga kita akan
mendapat penyegaran-penyegaran terhadap sejarah, filsafat, dan juga pengetahuan-pengetahuan
yang lain.
Selain itu, nilai-nilai sastra dalam setiap
tulisannya terasa begitu kental. Beliau selalu menyelipkan puisi-puisi dalam
stiap karyanya.
“Dalam dekapan ukhwah, kita mengambil cinta dari
langit lalu menebarkannya di bumi. Sungguh disurga, menara-menara cahaya
menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangun dari sini, dalam
dekapan ukhwah.” Salim A Fillah.
Penulis adalah penikmat
segala jenis buku.
Menjaring Pemimpin Berkarakter Qur’ani
Sering sekali bangsa kita disebut-sebut sebagai bangsa yang
multi-krisis, karena berbagai ketimpangan yang terjadi didalamnya, baik itu
dari segi budaya, sosial terlebih lagi ekonomi. Sehingga harus segera dicari obatnya.
jika tidak,
harapan untuk keluar dari multikrisis hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Hemat penulis, salah satu penyebab multi krisis di Indonesia dikarenakan dampak
krisis kepemimpinan (crisis leadership) itu sendiri, yang menjadi titik hitam
sejarah perjalanannya.
Memang tak bisa
dielakkan, absennya pemimpin yang nasionalis dan relegius merupakan malapetaka
besar bagi bangsa ini. Nasionalisme
Religius adalah sintesis Nasionalis ‘neutural agama’ dengan Islam. Nasionalisme
Indonesia yang dimaksud adalah kearifan tradisonal bangsa. Pemimpin Nasionalis
yang ber-ketuhanan adalah solusi yang tepat untuk krisis kepemimpinan saat ini.
Relegius berarti, ia taat terhadap norma-norma agama. Nilai-nilai
keberagamaan ia jadikan api semangat dalam ber-negara. Seperti yang dikatakan
Fazlur Rahman, Negara adalah alat untuk agama. Maka untuk menekankan keadilan
dan memelihara perdamaian dan ketertiban, harus adanya keseimbangan antara
nilai-nilai nasionalis dan keagamaan.
Maka apabila api semangat Nasionalis relegius telah menyatu pada
raga seorang pemimpin, tidak menutup kemungkinan jalan hidup (way of life) baru
akan terbuka. Para pemimpin bekerja sesuai dengan poksinya. Sifat nasionalis
relegius adalah sifat pemimpin masa depan. Ia tidak memimpin suatu bangsa
dengan hawa nafsunya akan tetapi mempin dengan cinta kasih kepada tanah airnya.
Sebetulnya, di Indonesia sendiri bukan tidak ada corak pemimpin
yang memiliki nilai-nilai Nasionalis Religius. Kita tahu bahwa mayoritas penduduk
Indonesia pemeluk agama islam. Dan tidak sedikit pula dari jutaan umat islam di
Indonesia yang memiliki karakter lidership yang Qur’ani. Namun permasalahannya
kemudian, mampukah manusia-manusia
berkarakter pemimpin qur’ani tersebut menembus sistem perpolitikan Indonesia
dan menduduki kursi kekuasaan Negara?
Menjaring pemimpin berkarakter qur’ani
Salah satu agenda besar bangsa Indonesia adalah pesta demokrasi
Pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali. Jutaan rakyat Indonesia terlibat
langsung dalam menentukan nasib bangsa. Semua orang yang sudah memiliki
persyaratan memilih, berduyun-duyun menuju TPS untuk memilih pemimpinnya,
terlepas dia mengenal atau tidak siapa orang yang dia pilih itu.
Semenjak lahirnya undang-undang nomor 23 tahun 2003 yang mengatur
tentang pemilihan eksekutif secara langsung oleh rakyat, banyak yang
berpendapat bahwa ini lebih demokratis. Rakyat lebih berdaulat dan presiden
terpilih akan mendapatkan legitimasi politik yang besar dari rakyat. Namun
sayang, untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat tersebut para calon eksekutif
negara itu menempuh jalan politik yang kurang baik. Mereka berkampanye dengan
menebar ribuan pamplet dan benner di seluruh peloksok Indonesia,
membagi-bagikan kaos, membagi-bagikan uang (money politic), atau yang lebih
gandrung sekarang ialah membuat filem-filem pendek pencitraan baik dari para
calon pemimpin tersebut. Sehingga biaya untuk menjadi pemimpin terkesan sangat
mahal.
Untuk menanggulangi biaya kompanye yang sedemikan mahal, para calon
akan melakukan apa pun untuk mendapatkan bantuan dana. Termasuk mengadakan
perjanjian-perjanjian gelap dengan para investor asing. Misalnya, jika ia
menang menjadi pemimpin terpilih, maka ia akan mempermudah perijinan bagi
investor asing itu untuk penambangan pasir, emas, minyak bumi dan lain-lain.
Kasarnya, para calon pemimpin itu menjual tanah airnya sendiri.
Sialnya, sampai detik ini cara yang demikian relative berhsil.
Karena banyak dari rakyat Indonesia belum mampuh membaca karakter dari calon
pemimpinnya tersebut. Mereka hanya mampu meraba-raba melalui performen,
retorika, atau apa saja yang sudah diberikan kepada mereka. Mereka tidak mampuh
membaca niat terselubung dari calon pemimpinnya itu. Mereka tidak sadar, satu
suara yang mereka berikan sangat menentukan kemajuan dari bangsanya. Akibatnya,
bangsa kita semakin hari semakin terpuruk.
Sistem pemilu yang seperti ini sesungguhnya telah menutup keran
guna terjaringnya seorang pemimpin yang memiliki sifat nasionalis religious.
Seseorang yang sudah tertanam dalam dirinya sebuah nilai religius, tidak akan
melakukan tindakan-tindakan kotor. Maka dari itu, jika sistemnya tidak dirubah,
maka keinginan untuk mendapatkan kepemimpinan nasionalis religious, hanya
isapan jempol belaka.
Mengingkari
sila ke-4
Pemilihan
pemimpin eksekutif Negara dengan cara langsung seperti ini, sesungguhnya sudah
mengingkari makna pancasila terutama sila ke empat. Disana secara eksplisit
dikatakan, “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, dalam
permusyawaratan/perwakilan.” Dengan demikian, seyogyanya pemilihan para
pemangku tinggi Negara itu harus dikembalikan pada forum musyawarah yang dalam
hal ini adalah dewan perwakilan rakyat (DPR).
Pada dasarnya, untuk menjaring
pemimpin yang berkarakter qur’ani yang akan menjalankan kepemimpinan nasionalis
religious, terlebih dahulu kita harus membenahi sistem pemilihannya. Sebab cara
pemilu yang berkembang semenjak tahun 2004 nyatanya menjadi episentrum
kegagalan pemimpin kita. Selain itu, kita juga harus memperketat peraturan
dalam berkampanye, seperti mengatur anggaran biaya kampanye dan atau hal-hal
lain yang dapat memicu ketidak adilan.
Terakhir, penting rasanya untuk
terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, salah satunya dengan
terus meningkatkan budaya literasi. jangan hanya menyuarakan pembangunan secara
infrastruktur saja, namun suprastruktur juga harus terus di bangun.
Bima S, pengurus
Rumah Baca Damar26 Cilegon, purwakarta
Hamidi, Simpatisan
Rumah Baca Damar26.
Langganan:
Postingan (Atom)