“pokoknya, kalau kamu kuliah di serang, kamu harus gabung di rumah dunia, kalau bisa kamu jadi relawan disana”, begitulah kurang lebih pesan yang di sampaikan oleh Pembina bulletin sekolah yang dulu pernah menjadi wadah bagi saya dan temen-temen untuk belajar dan berkreasi di dalam dunia tuis menulis. Selain sebagai Pembina bulletin, pak ayat (begitu saya memanggilnya) juga saya anggap sebagai guru sepiritual saya, karena dalam setiap permasalahan yang saya hadapi baik dalam organisasi atau pun yang lainya, hanya kepada beliaulah saya berani membuka diri dan menceritakan semua masalah yang sedang saya hadapi, hebatnya beliau selalu memberikan saran atau wejangan-wejangan yang membuat saya siap menghantam batu sebesar apapun.
Buletin merupakan hal yang baru dalam sekolah kami, ketika itu saya baru menjabat sebagai ketua osis, seperti layaknya ketua osis yang lain, banyak sekali program kerja yang harus saya selesaiakan, di antara program-program kerja tersebut, Ada satu program yaitu mengenai pembuatan MADING (majalah Dinding), sebagai ketua osis yang baru, saya berinisiatif untuk memperbaiki MADING yang mulai kumuh dan penuh dengan kertas-kertas yang sudah tidak terbaca lagi apa pesan yang ingin di sampaikan oleh kertas tersebut. Mading di sekolah kami memang tidak berjalan evektif, jarang sekali ada siswa atau siswi yang mau mengisi atau berbagi informasi kepada siswa yang lain, yang ada paling pengumuman-pengumuman dari sekolah mengenai kewajiban menyelesaikan administrasi, atau pamplet-pamplet kegiatan yang akan di laksanakan oleh osis.
Mading pada periode saya ini pun sepertinya akan bernasib sama dengan mading pada periode-periode sebelumnya, sebab jujur saja saya sendiri belum mengetahui bagaimanakah pengelolahan mading yang baik itu.
Di tengah ke kebingungan tersebut, tiba-tiba saya di panggil oleh pak ayat, guru sepiritual saya. Entah kenapa sepertinya beliau bisa membaca pikiran saya yang sedang mencari inisiatif baru bagaimanakah seharusnya mading pada periode saya ini aga tidak hanya menjadi pajangan seremonial belaka saja. Akhirnya kita berdua dan beberapa teman yang lain berdiskusi dengan pak ayat, beliau berkata bahwa dalam pembuatan mading itu harus terorgenisir dengan baik, jangan hanya menunggu kesadaran siswa saja untuk untuk mengisi mading, namun, memang harus ada sekelompok orang yang berfokus mengurusi mading tersebut. Belau juga becerita tentang pengalamanya dulu di bidang jurnalistik, ternyata beliau itu juga hobi dalam bidang tulis-menulis. Tumpukan diary dan artikel di rumahnya menjadi bukti bahwa beliau memang benar-benar suka menulis.
Singkat cerita, akhir dari diskusi itu kami sampai pada titik bahwa kami akan membentuk sebuah tim redaksi, bukan hanya perkara mengenai mading saja, namun juga kami ingin membuat sebuah bulletin sekolah. Kami pun mulai mencari-cari nama yang cocok untuk bulletin perdana itu, Kemudian dari hasi perdebatan yang mat panjang, Kami mendapat satu nama yang pas untuk bulletin itu, kami bernama “Bulletin ciplukan” (cipta pelajar ungkap kecerdasan) dengan berbagai filosofi yang amat menarik.
Terjangkit Virus Menulis
Hari-hari kami pun di warnai oleh kesibukan yang berbeda, hampir setiap hari kami berkumpul untuk membicarakan mengenai tulisan yang akan kami isi ke dalam bulletin, kami berencana terbit satu minggu sekali dengan empat halaman, halaman-halamn tersebut berisi kolom-kolom yang memuat berita, profile, artikel, diary siswa dan kolom sastra.
Satu minggu kemudian, buletin ciplukan berhasil lounching perdana, tak lupa kami meminta sambutan dari kepala sekolah sebagai pelindung dari bulletin ini, kami benar-benar tidak menduga ternyata respon dari seluruh warga madrasah sangat luar biasa. Tidak biasa-biasnya MADING di kerubuti oleh para siswa dan siswi, karena selain kami print out dalam bentuk selebaran, kami juga menempelnya di mading. tidak sedikit para siswa yang tertawa membaca tulisan-tulisan kami yang amat polos.
Respon ini tidak hanya di kalangan siswa saja, kamipun mempromosikan buletin yang kami buat kepada seluruh guru di madrasah, dan mereka memberikan tanggapan yang benar-benar bagus.
Sejak saat itulah , sekolah kami sepertinya terjangkit virus menulis, bukan hanya siswa yang berlomba meramaikan bulletin, namun juga guru-guru mulai aktif menulis, hingga banyak tulisan-tulisan para guru tersebut di muat ke dalam koran lokal. Kamipun tidak sebatas melakukan penebitan bulletin saja, kami juga mengadakan pelatihan jurnalisrik untuk yang pertama kalinya, sebagai langkah awal bagi kami untuk lebih jauh mengenal jurnalistik.
Tidak hanya sebatas itu saja, rasa haus kami untuk lebih mengetahui dunia tulis-menulis, membuat kami terus mencari-cari informasi mengenai komunitas menulis yang lainya, akhirnya kami di kenalkan oleh pak ayat dengan Gol A Gong dan Rumah Dunia yang beliau asuh, beliau bercerita panjang lebar tentang keadaan di sana, tentang kelas menulis, tentang relawan, dan tentang kisah-kisah orang yang sukses menimba ilmu di sana, beliau bercerita seakan-akan beliau pernah menjadi bagian dari Rumah Dunia, padahal yang saya tahu beliau hanya nge-search dari internet. Namun meskipun begitu, entah kenapa saya merasa saya harus pergi kesana, saya harus bergabung di dalam rumah dunia. Berbagai ilustrasi yang ada di kepala saya mengenai Rumah Dunia meyakinkan saya untuk bergabung di sana. Bukan Cuma saya, akan tetapi temen-temen yang lain pun sepertinya merasakan hal yang sama dengan bernbagai ilustrasi yang mereka buat sendiri. Kami pun mulai merencanakan untuk berangkat ke rumah Dunia bersama-sama. Namun sayang, rencana itu harus tertunda dengan berbagi alasan, hingga saya lulus.
Pesan Itu Hampir Terwujud
sekarang saya duduk sebagai mahasiswa di IAIN SMHB jurus jinayah syasah, saya sudah jarang berkecimpung dalam buletin yang ada di sekolah itu. Namun, keinginan saya untuk lebih tau tentang dunia tulis-menulis, tentang rumah dunia, masih selalu terpatri di dalam dada. Saya selalu ingat pesan dari Pembina Bulletin itu, “bergabunglah dengan Rumah Dunia”.
Informasi demi informasi terus saya telusuri dari temen-temen saya di kampus, hingga pada suau saat saya memberanikan diri berangkat kesana berbekal alamt yang di berikan oleh teman saya. Sial, jarang sekali ada angkot di wilayah situ, hingga saya harus rela jalan kaki ke sana.
Sampailah saya di gerbang Rumah Dunia, sedikit ragu namun tetap ku paksakan masuk karena di dorong rasa penasaran yang luar biasa. Namun aneh, hari itu sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang mengobrol sambil saling mencomot makanan. Saya pun memberaniaka diri untuk menghampiri sekumpulan orang itu, dan dengan sangat ramah mereka menyambutku dan menanyakan maksud dan tujuan saya datang ke situ, saya pun mengutarakan maksud saya dan keinginan saya bergabung dalam rumah dunia, saya ingin mengikuti kelas menulis. Merekapun menjelaskan bagaimana caranya agar bergabung di dalam rumah dunia, dan untuk kelas menulis itu akan di buka pada bulan januari.
Setelah mendapat informasi tersebut, dan setelah saya sedikit melihat-lihat koleksi buku yang ada di sana, saya pun bergegas pulang. Sedikit informasi yang saya dapatkan ini, membuat saya benar-benar yakin bahwa saya sebentar lagi akan menepati pesan itu, dan sebentar lagi Rumah Dunia akan menjadi sarang saya yang baru untuk berkreasi di bidang menulis.
By: ferdiyan ds.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar